"Apa? Dona? Gila, gak nyangka gue." Nadin mengetuk jarinya di meja.
"Apalagi gue. Padahal dia itu lumayan kan."
"Iya, okelah dia."
Dona, salah satu atlet Judo di kampusku. Cowok berbadan atletis, kulit kecoklatan, mata bulat dan bermuka oval. Bonusnya, ia memiliki lesung di kedua pipinya. Kalo dilihat sih, Dona cukup manis. Meskipun bukan atlet kebanggaan kampus, tidak sedikit yang memujanya karena keeksotisan wajahnya.
"Terus lo mau gimana?" tanya Nadin.
Aku mengangkat bahu. "Emang gue harus gimana? Dia udah bohongin gue."
"Jadi, mau lo apain barang-barang dari dia"
"Gue kembaliin mungkin."
"Kejem juga lo!" Nadin tertawa.
"Abis mau gimana lagi." aku mengambil sebuah jeruk dan mengupasnya.
"Harusnya lo maklumin lah?" kata Nadin, "Dona itu gak pernah pacaran apalagi jatuh cinta sama cewek."
"Bo'ong elo mah!" bantahku.
"Serius!"
"Makin aneh tuh orang." aku memasukkan jeruk ke mulutku dan mengunyahnya.
"Nggak juga, buktinya elo juga gak pernah pacaran dan jatuh cinta sama seseorang."
Aku tersedak, mukaku merah. Nadin memberiku segelas air. Setelah meminumnya aku berkata, "Kurang ajar lo!"
"Terimakasih kembali."
*
Keesokan harinya, Dona menghampiriku di kantin. Dengan senyum bersalahnya dia menatapku. Kebetulan Nadin dan Miko bersamaku. Saat aku hendak berdiri, Miko menarikku duduk kembali.
"Mau ngapain lagi lo?" tanyaku sinis.
"Gue mau minta maaf, gue akuin gue salah."
Dona menarik tanganku, tapi kutepis cepat. "Buat apa lo minta maaf sama gue? Emang lo apain gue?"
"Gue ... Gue udah bohongin elo"
"Lo juga nonjok Miko!" bentakku.
Dona mendesah. "Itu salah dia karena ikut campur!"
Aku melihat Miko mengepalkan tangan, menahan emosi. "Apapun urusan yang berhubungan dengan Fera, itu juga urusan gue!" ucap Miko dingin.
Dona menatap Miko tajam. "Emang lo siapa Fera?"
Miko kembali bungkam.
Nadin menggebrak meja. "Kalo elo ke sini cuma buat keributan, mending pergi aja sono. Bikin orang bete aja. Gak ada yang ngundang elo ke sini, dan gak ada yang ngarepin elo ke sini!"
Aku menghela napas. "Apa mau lo sebenarnya?"
Tatapan Dona kembali lembut padaku. "Gue cuma mau elo!" jawabnya tegas.
Aku terperanjat, begitupun dengan Miko di sebelahku yang tiba-tiba mencengkeram kuat tanganku. Aku sempat meringis pelan.
Nadin tiba-tiba tertawa mengejek. "Ternyata lo masih punya muka ngomong gitu sama Fera?"
"Diem lo!" bentak Dona.
Nadin mengangkat bahu. "Gue cuma bicara fakta. Mana mau Fera sama elo, yang jelas-jelas udah nyakitin hatinya. Belum juga jadi pacarnya, udah berani ngibul," Nadin berdiri, "yuk ah, kita pergi aja. Pusing nanggapin orang yang kagak punya hati!" tandasnya.
Nadin menarik tanganku dan Miko. Aku hanya geleng-geleng kepala, sedangkan Miko bersikap dingin. Saat aku menjauh, samar-samar aku mendengar Dona berteriak hingga menghentikan langkahku.
"Gue tau, gue pengecut. Gue juga tau, gue kuno. Itu karena elo orang pertama Ferayu, orang pertama yang ngambil hati gue. Orang pertama yang bikin gue bingung buat ngedeketin elo, orang pertama yang bikin gue frustasi kalau gak liat elo. Gue sayang sama elo Ferayu. Ferayu Lianda Fiko, gue butuh elo!"
Aku memejamkan mata. Apalagi ini? Kenapa dia berteriak bodoh? Lagi-lagi aku menjadi pusat perhatian di kantin. Aku mendesah kesal lalu kembali melangkah pergi.
Sialan!!
*
Tatapanku kosong. Aku kembali memikirkan perkataan Dona. Dia pasti udah gila. Aku gak habis pikir, kenapa dia harus teriak bodoh di kantin? Di depan para mahasiswa. Mereka pikir apa nanti tentang diriku? Mereka pasti berpikir, kalau aku udah nolak cintanya. Dan selanjutnya mereka berpikiran jelek tentang diriku. Sudah pasti, namaku besok akan menjadi trending topic se-fakultas.
Argh, mau ditaruh di mana muka gue!
"Nekat banget ya dia!" seru Nadin. Aku mengangguk lemah. "Udah gak usah dipikirin."
"Gimana gue gak mikirin, besok udah pasti gue digosipin se-fakultas atau mungkin se-universitas. Lo tau kan, gimana reputasi Dona Mewarga."
Nadin mengangguk. "Iya sih, bilang aja lo gak suka sama dia.""Jelas nggak lah!" bantahku.
"So? Bilang aja lo deket sama kapten basket, minimal pacaran lah."
Aku menganga. "Gila lo!"
"Gue rasa, Miko gak keberatan."
"Tapi tetep aja, itu ide tolol!"
"Terus apa dong? Lo gak mau kan dibilang sakit mata. Satu-satunya alasan, ya karena lo punya cowok lah. Mereka bakal mikir elo setia. Alhasil, reputasi lo bagus. Gitu!"
Aku menimbang-nimbang sebentar. Masuk akal sih, tapi apa harus melibatkan Miko? Uh, rasanya hatiku teriris.
"Sakit mata, sakit mata deh!"
*
Otakku selalu mendidih setiap melangkahkan kaki ke kampus. Terang saja mereka pikir aku bodoh, terlalu bodoh malah karena nolak cinta Dona. Ada yang diam-diam membicarakanku, ada juga yang terang-terangan mengejekku. Contohnya nih.
"Harusnya lo beruntung ditembak Dona. Apa sih yang kurang dari dia? Kalo elo ngarepin Pangeran William mendingan mati aja deh lo!"
Tuh kan kejem banget. Masa sih gara-gara Dona, aku suruh mati. Ada lagi yang ngomongin diem-diem tapi nyesek banget di hati.
"Mana sih yang namanya Ferayu? Yang pake baju biru itu? Ah, biasa aja mukanya, jerawatan. Gak bisa dandan. Apa sih bagusnya dia, bisa-bisanya Dona naksir dia."
Hiks. Pengen deh, kutendang dia sampai ke ujung dunia. Jerawatku hanya satu di dahi, dan itu gak patut dibilang jerawatan. Parahnya lagi, Ibu dosenku juga sempat ikut-ikut nyindir.
"Ferayu, bagaimana kabar Dona?"
Emang aku nyokapnya? Yang bener aja, Bu.
Kampus bener-bener neraka buat gue. Titik.
-
"Fer, kenapa lo sekarang jarang jalan bareng Miko? Lo juga gak pernah dijemput lagi? Kalian bertengkar?" tanya Nadin.
"Nggak juga, gue gak ada masalah sama dia. Kali aja dia sibuk."
"Apa Miko menjauh dari elo ya?"
Aku mengangkat alis. "Maksud lo?"
Nadin menngeleng seraya berkata, "Firasat gue aja, sejak momen di kantin itu, dia agak menjauh. Tapi ... gak tau deh."
Ponsel Nadin berbunyi, aku melirik sedikit. Andre.
"Pacar lo telpon tuh!"
"My beb Andre kangen sama gue. Bentar ya gue pacaran dulu." Nadin mengedipkan sebelah matanya padaku. Dasar centil!
Aku memutar bola mata. Tiba-tiba rasa iri menyeruak di benakku. Gimana rasanya punya pacar? Gimana rasanya dicintai oleh seseorang yang kita cintai? Gimana rasanya dikangenin? Dan, gimana rasanya bahagia sama pacar? Pertanyaan yang memutar di otakku membuatku ingat pada satu peristiwa lampau.
*
Flashback, 8 tahun silam.
"Ayu! Ayu sini. Buruan!!" panggil Ais.
Aku menikmati batagor di depan sekolah dengan saus belepotan, seragam merah putihku terlihat kusam, rambut kepang duaku juga sudah berantakan. "Tunggu!!" ucapku sambil membersihkan mulut dan tangan dengan tissu. Aku segera berlari menuju perempatan jalan tempat Ais memanggilku. "Ada apa?"
"Itu tuh, cowok yang Ais suka. Yang pake jam tangan." Ais menunjuk sekelompok cowok yang bermain basket.
"Mana? Mana?"
"Itu, itu yang ... yang bawa bola, terus lari terus ... masuk. Hore! Hore!"
Seketika aku terpesona dengan cowok itu. "Wah, ganteng ya!"
"Iya." Ais mengangguk semangat.
"Eh, Ais, dia liat ke sini." cowok itu memandang ke arah kami, kemudian tersenyum manis sekali.
"Dia senyum sama Ais?" Ais jingkrak-jingkrak kegirangan, sedangkan hatiku tiba-tiba berdesir hangat hingga menjalar ke pipiku.
"Udah yuk, kita pulang. Mereka pasti bentar lagi pulang. Itu Tio dan Kak Dani sudah datang." Ais menarik tanganku, tetapi mataku tidak bisa lepas darinya.
Seminggu kemudian Ais berangkat sekolah dengan mata merah seperti habis menangis. Aku mendekatinya prihatin, beberapa hari sebelumnya Ais selalu terlihat ceria.
"Ais kenapa?" aku memeluknya sebentar.
"Papa tampar pipi Ais," ucap Ais.
Aku menyentuh pipinya yang merah dan sedikit bengkak. "Kenapa Om Adi menampar Ais?"
"Ais liat Mama nangis dipukul sama Papa. Terus Ais dorong Papa, Ais mau lindungin Mama. Ta-tapi Ais malah dipukul sama Papa." jelas Ais sedikit terbata-bata. Air matanya kembali meluruh ke pipi.
"Ais jangan nangis ya, kan di sini ada Ayu. Nanti Ais tidur di rumah Ayu aja. Biar Papa yang bilang ke Om Adi sama Tante Reni."
Ais menggeleng lemah.
"Terus Mama Ais sama siapa? Ais gak mau ninggalin Mama sendirian, Ais sayang sama Mama."
"Tante Reni juga boleh tidur dirumah Ayu." Ais memandangku, lalu mengangguk senang. Seketika hatiku lega.
"Oh ya, nanti kita liat cowok yang disuka Ais ya?" Ais semakin mengangguk semangat.
Sore harinya aku dan Ais duduk di bangku sebelah lapangan basket dengan membawa berbagai macam makanan ringan. Ais terlihat tidak sabaran karena cowok yang ditunggu-tunggu belum juga menampakkan batang hidungnya.
"Kemana ya dia?" tanya Ais untuk kesekian kalinya.
Secercah cahaya muncul di bola mata Ais, aku mengikuti arah pandangannya. Benar, cowok itu datang masih menggunakan seragam putih birunya. Hatiku juga ikut bersorak gembira. Tidak lama kemudian, cowok itu menghampiri bangkuku dan Ais.
"Hai," sapanya.
Ais berdiri kikuk di depanku sedangkan aku masih duduk menikmati wajahnya yang imut.
"Hai juga," balas Ais.
Tiba-tiba cowok itu melewati Ais dan duduk di sebelahku. "Boleh kenalan gak?" cowok itu mengulurkan tangannya padaku.
Ais merenggut tasnya dan berlari meninggalkanku. Aku segera menyusul tanpa menghiraukan cowok yang mengajakku berkenalan. "Ais, tunggu!!"
Ais baru menghentikan kakinya tepat di depan sekolah. Ia membalikkan badan dan menatapku marah. "Ayu jahat sama Ais. Ayu udah rebut cowok Ais!"
Aku tersentak. "Ayu gak jahat sama Ais!" ucapku lirih.
"Ayu gak boleh suka sama cowok Ais. Gak boleh!!"
Aku menundukkan kepala. "Iya."
"Ayu gak boleh suka sama cowok yang disuka Ais!"
Aku mengangguk lemah.
Tiba-tiba Ais memelukku erat. "Ayu janji?"
"Janji." ucapku lirih.
Flashback Off.
*
Dan hingga saat ini aku masih menyukainya.
Aku menggelengkan kepala lalu beranjak ke ranjang mencoba tidur meskipun mataku masih menyala. Kepalaku kembali pusing. Kejadian masa lampau itu masih tersimpan rapi di otakku. Karena janji. Janji pada seseorang yang telah tak bernyawa.
"Fera, lo mau tidur? Masih jam 7 nih, kayak bayi aja," ujar Nadin.
Aku menoleh padanya. "Udah pacarannya?"
Nadin mengangguk semangat. Ia duduk di sebelahku. "Lo tau? Andre mau dateng?"
Aku kembali duduk. "Kapan?"
"Akhir bulan depan."
"Masih lama."
"Tapi gue udah grogi nih."
"Lo kenal Andre darimana sih?"
"Dari rival gue. Awalnya gue taruhan tapi akhirnya nyantol juga gue."
"Dasar!" umpatku. Nadin terkekeh.
"Sebenarnya gue heran sama diri gue, bisa-bisanya gue tahan sama LDR ini. Padahal kalo dipikir-pikir sih perjuangan banget. Iya kan?"
"Gak salah lo tanya sama gue?"Nadin melirikku. "Oh iya, lo kan mati rasa. Tapi gue lebih heran sama lo?" ujarnya, "lo bener gak pernah jatuh cinta? Minimal suka lah."
Aku pura-pura berfikir. "Em ... pernah gak ya?"
"Dari sekian banyak cowok di kampus, gak ada yang bikin elo klepek-klepek?"
"Nggak ada!"
"Termasuk Miko?"
Sial! Pipiku memerah saat Nadin menyebut nama Miko. Nadin tersenyum jahil lalu berkata, "Udah gak usah nutupin perasaan elo."
"Apaan sih!" aku mengelak dari tuduhan Nadin.
Nadin mencolek bahuku. "Serahin sama gue!" kemudian pergi menyisakan kebingungan di otakku.
Miko? Basket? Sebenarnya hatiku sedikit sentimentil dengan basket. Tapi, kehadiran Miko belakangan ini membuatku nyaman. Bibirku tersenyum membenarkan kata hatiku.
*
Aku berjalan menuju kantin kampus. Miko sedang berkutat dengan laptopnya. Jujur saja, aku sangat merindukannya. Dengan membawa semangkok soto ayam, kakiku berjalan mendekatinya.
"Hai, sarapan gih. Gue tau, elo pasti belum sarapan," sapaku.
Miko terkejut dengan kedatanganku, kemudian ia bersikap dingin. "Gue udah makan."
"Oh," seruku kecewa, "ya udah, gue buang aja!" aku menarik diri sambil membawa kembali soto ayam tersebut. Tiba-tiba Miko menarik tanganku, hingga mangkok soto meleset dari genggamanku. Telapak tanganku terkena pecahannya, darahku pun menetes di lantai.
"Jangan sentuh darah gue!!" teriakku ketika Miko hendak menarik tanganku yang berdarah.
Gerakan Miko terhenti. "Tangan lo berdarah! Lo kenapa sih?"
Aku segera mengeluarkan tissu dari tas dan membersihkan darah yang menetes di lantai lalu kututupi luka di tanganku dengan tissu lainnya. Aku pergi meninggalkan Miko yang terus memanggilku.
Aku membakar tissu yang berlumuran darah. Isakanku sudah reda. Aku melakukan hal bodoh. Tolol. Seharusnya hal ini gak terjadi. Miko takkan menyukaiku. Apa bagusnya aku? Hanya cewek berkulit pucat seperti vampir dan ... penyakitan. Banyak yang lebih baik dari aku? Lalu kenapa aku masih mengharap Miko? Mengharap sebuah kemustahilan.
Luka ditanganku tidak sebanding dengan luka di hatiku, saat aku menyadari aku tidak pantas dicintai. Miko? Basket? Semua terasa semu. Meskipun cowok itu bukan Miko, tapi rasa sakitnya sama.
*