7. SANDIWARA

174 8 0
                                    

Aku mengemasi barang-barangku walau tidak semuanya. Air mata sejak tadi sudah membanjiri pipiku. Aku tidak peduli. Rasa sakit itu menyebar perlahan hingga menggerogoti tubuhku. Kepalaku seperti dihantam dari segala arah. Tanganku bergetar. Kenapa? Kenapa dunia begitu sempit. Maafkan aku Ais, maafkan aku. Aku akan pergi dari tempat ini. Tapi kemana aku akan pergi?
Tenagaku terkuras habis. Aku duduk memeluk lutut di sebelah ranjang. Aku mengacuhkan kamarku yang seperti kapal pecah atau bahkan lebih dari itu. Nadin menyeruak masuk ke dalam kamar. Ia heran melihat kamarku sekaligus parahnya keadaanku.
"Lo kenapa?" tanyanya lembut.
"Tolong, jaga Miko!" mohonku.
Nadin tercekat. "Apa maksud lo? Lo mau pergi?"
Aku mengangguk. "Sekali ini gue mohon sama lo, tolong jaga Miko!"
"Lo mau pergi kemana?"
Aku diam. Tidak tahu, aku tidak tau kemana tujuanku. Yang aku tau, aku harus pergi dari sini. Harus.
"Lo mau ninggalin gue?" tanya Nadin. Aku menatap matanya yang berkaca-kaca. Cobaan apalagi ini Tuhan. Hatiku semakin terinjak. Mengapa hidup butuh pertimbangan? Mengapa hidup begitu rumit? Argh!
"Gue harus pergi."
Nadin memelukku sambil menangis. "Lo janji bakalan balik lagi kan?"
Aku diam. Bagaimana aku bisa terikat janji dengan Nadin? Satu janji pada Ais saja sudah cukup membuatku menderita.
Nadin mengurai pelukannya. "Lo janji bakalan balik lagi kan. Janji kan, Fer?" tanyanya ulang.
"Gue gak tau."
Nadin menggeleng lemah. "Fera, gue mohon! Lo janji bakal balik lagi ke sini."
"Gue gak bisa janji Nad, gak bisa. Gue muak sama janji-janji yang nantinya nyakitin gue. Nyakitin hidup gue. Semua janji-janji itu cuma bikin hidup gue menderita."
"Fera, lo gak benar-benar pergi kan? M-maksud gue, lo bakalan tetep hubungin gue kan?"
Aku mengangguk.
"Lo bakalan pergi kemana?"
"Medan," ucapku sembarangan. Dan sejak itu, aku menemukan tujuanku. Medan dan Kak Dani.
*
Kak Dani melambai saat aku turun dari bus. Aku segera menghampirinya. Yeah, Kak Dani terlihat sangat dewasa. Ia jangkung, pipinya tirus, dan berkumis tipis. Delapan tahun ternyata benar-benar merubahnya. Tapi cuma satu yang tak berubah, mata teduh itu.
"Kak Dani?" ucapku.
"Ayu?" Kak Dani langsung merengkuhku. Tubuhku yang mungil tenggelam dalam pelukanya. Aku sadar, aku benar-benar pendek. Hiks.
Hatiku terasa sesak. Sesak kebahagiaan. Entah bagaimana aku menggambarkannya. Setelah delapan tahun lamanya berpisah, kini kami bertemu kembali. Aku menangis sesenggukan hingga Kak Dani mengurai pelukannya.
"Hey, kenapa nangis?" Kak Dani mengusap air mataku sambil membelai pipiku dengan ibu jarinya. Uh! Cara menghiburku pun masih seperti dulu.
"Aku nangis bahagia tau, Kak!" aku memukul dadanya.
Kak Dani tersenyum. "Kamu ini, gak perlu nangis segala."
Aku pura-pura ngambek.
"Ayu tetap kok kecil ya?"
Aku mendengus, kali ini aku beneran ngambek. "Biarin aja!"
Kak Dani mengacak-acak puncak kepalaku dengan manja. "Mama udah nungguin di rumah. Masak spesial buat Ayu. Kangen katanya."
Aku mengangguk semangat lalu mengikuti Kak Dani. Aku dan Kak Dani memasuki mobil BMW yang benar-benar mewah. Oh, maksudku mewah tapi elegan. Aku takjub melihatnya. Bukannya kampungan, tapi aku tidak terbiasa mengendarai mobil semewah ini. Kak Dani sampe tertawa melihat tingkahku.
"Kak, emang kerja kakak apa sih?"
"Ayu mau tau?"

Aku merengut. "Iyalah."
"Tapi kalau kakak kasih tau, artinya kamu siap-siap menghitung mundur untuk-" Kak Dani tersenyum misterius dan menatapku horor. Tangannya hendak meraihku.
Aku sampai merapat ke pintu mobil. Jantungku dag dig dug, apa-apaan sih Kak Dani ini?! Keringat dingin membasahi dahiku. Uh, aku takut. Jangan-jangan Kak Dani berubah menjadi ....
"Untuk memasang sabuk pengaman. Karena kalau polisi lalu lintas melihat kita tidak memakai sabuk pengaman, bisa-bisa kita ditilang dan tercatat sebagai warga negara yang suka melanggar hukum lalu lintas. Oke."
Aku menganga lebar, kemudian memukul lengan Kak Dani, sebal. Argh! Hampir saja aku kabur. "Kak Dani nyebelin" aku mengerucutkan bibirku.
Kak Dani malah tertawa keras, lalu perlahan menyetir mobil. "Kakak tuh kerja sebagai Asisten Kepala di perkebunan kelapa sawit, Dek"
"Wau, boleh juga tuh."
"Kamu kuliah kan, Dek? Ambil prodi apa?"
"Arsitektur, Kak."
Kak Dani melirikku sekilas. "Ternyata Ayu belum berubah ya. Kamu inget gak, tentang renovasi pasar yang kamu rencanain semasa kecil dulu. Bilangnya, kamu kalau udah gede mau benerin pasar biar gak jorok sama bau. Setiap penjual mau dikasih tempat sampah, terus mau dibangun toliet disetiap pojok pasar," jelas Kak Dani sambil tertawa kecil.
Aku menyeringai geli. Impian yang lucu. Ada-ada saja aku ini. Terlalu polos tanpa memikirkan berapa banyak biaya yang dikeluarkan serta resiko yang ditanggung. Gak semudah itu kali.
"Wah lucu banget aku waktu itu."
Kak Dani mengangguk maklum.
"Oh ya, kakak bilang, kakak nemuin e-mail Tio. Gimana kabar dia? Setauku dia ada di Jepang."
"Dia mau balik ke Indonesia akhir bulan ini. Tapi bilangnya mau ke Surabaya dulu."
"Oh ya, suruh ke sini aja dia, Kak"
"Gampanglah, bisa diatur itu."
Tanpa terasa kami sampai di depan gerbang sebuah rumah klasik. Kak Dani turun dari mobil untuk mendorong gerbang besi kemudian masuk kembali ke dalam mobil.
"Gak ada satpam ya, Kak?"
Kak Dani mengangkat bahunya. "Kamu tau lah, Mama dari dulu gak pernah mau direcokin pembantu. Selama kita bisa melakukannya buat apa menggunakan tenaga orang lain."
Aku menggaruk tengkukku yang tidak gatal. "Eh, iya sih. Hemat juga." Kak Dani terkikik geli.
Setelah memarkirkan mobil, aku segera keluar dari mobil disusul Kak Dani. Taman yang terpampang di depan mataku sangat manis. Taman tersebut dihiasi buang mawar merah yang dikombinasi dengan mawar putih ditengahnya membentuk hati. Rumputnya pun rapi. Kursi santai beserta meja berada disamping pohon cemara kecil. Aku tidak percaya jika Tante Tiara yang melakukan ini semua.
"Kak, Tante Tiara pasti lagi bahagia waktu ngerancang taman ini."
"Tentu saja, itu kegiatan favorit Mama setelah masak," jawabnya.
Aku meringis.
Kak Dani membuka pintu perlahan. "Mama."
"Iya. Aduh, Nak Ayu sudah sampai," ucap Tante Tiara sembari memelukku hangat, "Ayu sudah besar ya, tambah cantik."
Aku tersipu malu. "Tante bisa aja. Om Robi kemana, Tan?"
"Belum pulang kerja, Sayang. Ayu makan dulu ya, habis itu istirahat. Biar koper Ayu, Dani yang urus." Aku mengangguk.
Seperti yang diucapkan Tante, setelah makan, aku langsung masuk kamar. Mandi kemudian tidur. Barang-barangku? Ah, urusan belakangan.
*
Sehari penuh, aku diajak jalan-jalan oleh Kak Dani. Salah satunya ke mal, Medan Plaza. Semua belanjaku diborong oleh Kak Dani. Kalian para wanita pasti mengerti perasaanku saat itu. Uh! Dari dulu Kak Dani emang pengertian.
Dan saat malam datang, aku kembali merenung. Aku merindukan Miko dan Nadin. Aku merindukan kampusku, kosku dan segalanya tentang kehidupanku di Surabaya. Ah, seandainya bio Miko kuketahui sejak dulu, pasti aku akan pergi lebih cepat. Tanpa menyisakan kenangan manis dan cinta yang mulai bersemi.
Kenapa, Tuhan? Kenapa semua jelas, saat aku mencintainya? Mengapa tidak Engkau halangi saja rasa cinta ini?

My DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang