Malam minggu, Dona mengunjungiku di kos. Awalnya Nadin menyuruhnya pergi, tapi ia keukeuh untuk bertemu denganku. Sampai akhirnya aku keluar mengacuhkan pelototan mata Nadin.
Aku duduk di depan kos dengan Dona di hadapanku.
"Tangan lo kenapa?" tanyanya menatap tanganku yang diplester.
"Cuma lecet," jawabku.
"Fer, gue mau ngomong," katanya gelisah.
"Gue bakal dengerin."
"Lo ... lo mau gak jadi pacar gue?"
Buset! Tanpa basa-basi dia menembakku. Aku sempat melotot, tapi tatapan matanya membuatku mengerti bahwa ia sangat mengharap jawabanku segera.
"Gue-"
"Fera," potongnya, "gue gak main-main. Gue serius. Gue mohon, gue berharap penuh sama elo." ia menggenggam kedua tanganku.
Aku menghela napas berat. "Gue akuin, mustahil rasanya gue gak suka sama elo. Gue-" ucapanku kembali terhenti karena melihat siluet seseorang berdiri tidak jauh dariku. Pandangan terluka menatapku, sesaat dia tersenyum lalu membalikkan badan dan pergi.
"Miko!" seruku.
*
"Gue kan udah bilang, lo gak usah nemuin Dona. Akhirnya kacau begini kan. Lo sih keras kepala!" Nadin mondar-mandir di kamarku.
Aku termangu meratapi kebodohanku. "Nasi sudah menjadi bubur!" sesalku.
"Dan bubur itu makanan bayi, artinya lo bayi yang bertindak tanpa berpikir!!"
"Gue kan gak tau kalo Miko bakalan dateng."
"Lo juga gak tau kan, kalo Dona bakalan dateng."
Aku mendesah sebal. "Udahlah, cowok bukan cuma Miko doang," ujarku, putus asa.
"Masalahnya yang lo suka cuma Miko!" ucap Nadin pedas.
Aku menyentuh luka di tanganku. "Dia ke sini mungkin mau minta maaf doang"
Nadin memutar bola matanya. "Jangan salahin Miko kalo dia deketin cewek lain!"
Aku meliriknya sebal. "Ya iyalah, emang dia siapa gue?"
Nadin melemparkan bantal dan guling bertubi-tubi tepat pada mukaku.
"Cewek bego! Kapan sih lo sadarnya!!"
*
Mulai malam itu, aku merasa Miko mulai menjauhiku. Beberapa hari ini pun saat aku melongok ke kelasnya dengan sengaja, aku tetap tidak menemukannya. Di kantin, lapangan basket, ruang praktik, sama saja tidak bersahabat denganku.
Pernah suatu hari aku tidak sengaja melihatnya sedang bergurau bersama Linda, mahasiswa semester 1. Saat ia tertawa lepas, mataku dan matanya bertemu dan selanjutnya ia bersikap seolah tidak mengenaliku. Saat itulah, aku merasa benar-benar dilupakan. Atau bahkan tidak sedikitpun diriku melintas di hatinya.
Aku menyibukkan diri di perpustakaan. Melarikan diri dari kenyataan pahit. Aku menghidupkan sebuah komputer, lalu membuka emailku. Sejenak aku tercengang dengan sebuah email yang mampir di inboxku.
From : April_d4n1@email.com
To : AyuLF@email.com
Subject : 0889 565 8686
Ferayu, akhirnya kakak nemuin email kamu. Oh ya, kakak juga berhasil nemuin email Tio. Gimana kabar adek? Adek baik-baik aja kan. Kakak harap begitu. Adek, kakak sekarang ada di Medan. Adek di mana? Kakak udah kerja sebagai konsultan di sini.
Banyak yang pengen kakak ceritain, makanya setelah kamu buka email ini, hubungi kakak ya. Salam kangen.
Aku membaca ulang email dari Kak Dani. Aku tidak tau bagaimana caranya Kak Dani bisa mendapatkan emailku setelah berpisah delapan tahun lamanya. Aku membiarkan otakku bermain bersama kenangan-kenangan yang selama ini tersimpan rapi dalam ingatan. Ini benar-benar terasa sangat aneh. Sangat aneh dan sulit untuk di jelaskan.
Aku segera mengambil ponselku dan memencet nomor yang tertera di email Kak Dani. Aku melakukannya dengan tangan gemetar dan dada yang berdebar. Keringat dingin di dahiku semakin menjadi-jadi saat nada tersambung terdengar. Tidak lama kemudian, suara berat dari ujung telepon terdengar.
"Halo, maaf saya berbicara dengan siapa?"
"Kak Dani, ini Ayu kak. Ferayu." Air mataku mulai membasahi pipi. Hatiku sesak dengan kebahagiaan.
Sunyi.
"Adek? Ini ... beneran adek?"
Aku menyeka air mataku. "Iya kak. Ini ... Ayu."
Kembali sunyi.
"Kak," panggilku.
Tutt tutt tutt ....Panggilan berakhir. Saat aku mengecek pulsaku, alhasil Rp 0,- .
Double sial!
*
Malamnya, aku segera menelpon Kak Dani, tentunya setelah mengisi pulsa. Sebenarnya aku jengkel, kenapa Kak Dani tidak menelpon balik? tapi kebahagiaanku mengalahkan segalanya. Aku mengunci kamarku, tidak ingin diganggu, terutama oleh Nadin.
"Halo kak."
"Ayu?"
"Iya, Bagaimana kabar kakak?"
"Kakak baik. Kamu?"
"Jauh lebih baik dari sebelumnya. Kenapa kakak tidak menelepon balik?"
"Gimana kakak mau hubungi kamu, nomor kamu saja private."
Aku menepuk dahiku. Lupa. "Ohiya," aku meringis, "kakak tau email aku dari mana?"
"Dari ... Om Adi."
Aku terdiam. Telingaku tidak siap mendengar nama orang itu lagi. Orang yang menghancurkan kehidupan sahabatku, sekaligus penyebab kematiannya.
"Ayu? Kamu masih di sana?"
"Orang itu masih hidup, Kak?"
Aku mendengar Kak Dani menghela napas panjang. "Dia udah berubah dek."
"Aku tidak peduli. Berubah ataupun tidak, dia tidak akan bisa mengembalikan Ais, Kak" jawabku emosional.
"Kakak tau, tapi semua udah berlalu dek. Kita hanya bisa merelakan!"
"Ais pergi, Kak. Pergi untuk selamanya. Dan, Kakak hanya bilang berlalu dan rela?!" Air mataku kembali meleleh.