Selamat membaca kisah Abang Vanno. Jangan lupa mampir ke lapak Abang Zhafran, karena ada part baru haha.
--------------------------------------------------------------------------------
Di dalam mobil, seorang lelaki muda berparas tampan terlihat tidak fokus pada jalanan di depannya. Ia berkali-kali melirik ke arah samping. Lelaki itu terus saja menghela napas berat, seperti ingin menyampaikan sesuatu namun diurungkannya. Perempuan di sebelahnya tak sadar kalau ia sedang diperhatikan. Gadis itu sedang sibuk dengan ponselnya.
Mobil yang mereka tumpangi sudah berhenti di depan sebuah bangunan. Si perempuan sudah berniat turun, tetapi lengannya ditarik pelan. Ia menoleh pada lelaki di sebelahnya, memberikan sorot mata penuh tanya.
"Ada apa?" tanyanya pelan. Si lelaki kelihatan resah, "Aku nggak bisa jemput kamu nanti sore, nggak papa?" Gadis itu—Nina menarik napas lega. Tadi ia sempat mengira kalau tunangannya itu hendak mengatakan sesuatu yang membuatnya takut. Tak urung ia pun tersenyum. "Iya nggak apa-apa, aku bisa naik taksi kok."
"Maaf ya," ucap tunangannya itu dengan nada penuh sesal. Nina hanya mengangguk maklum. "Iya nggak papa," ulangnya sekali lagi.
"Yaudah kalo gitu, selamat bekerja ya."
"Kamu juga ya. Hati-hati nyetirnya."
Nina turun dari mobil kemudian berjalan menjauh dari kendaraan tunangannya untuk masuk ke tempatnya bekerja. Sampai di lobi ia membalikkan badan, mobil tunangannya sudah tidak terlihat. Ia pun melanjutkan langkahnya ke dalam gedung.
"Pagi, Mbak Nina." Nina tersenyum manis pada perempuan yang menyapanya. "Pagi juga, Sania."
"Kelas pagi ya, Mbak?" tanya Sania yang dibalas anggukan oleh Nina. "Kamu juga?" tanya Nina balik. "Iya."
Sania, rekan sesama pengajar di MSI. Gadis itu lebih muda dari Nina, namun kemampuan musiknya tidak diragukan lagi. Jika Nina mahir bermain piano, maka Sania jagonya dalam memetik senar gitar.
"Ke atas yuk, Mbak," ajak Sania.
Kedua perempuan yang memiliki tinggi tak jauh berbeda itupun berjalan beriringan menuju ruang mereka mengajar di lantai dua.
***
Jika Nina sudah memulai aktivitasnya, maka Vanno masih terjebak di jalan raya, menghadapi kemacetan yang sudah jadi makanan sehari-hari. Dengan tidak sabar ditekannya klakson berkali-kali. Tak henti-hentinya ia melirik jam. Ia memiliki meeting penting dan berpotensi terlambat. Banyaknya pekerjaan hari ini membuatnya tidak bisa menjemput Nina seperti biasa.
Dan ia merasa sedikit bersalah.
Akhir-akhir ini kantor tempat Vanno bekerja dibanjiri job dari perusahaan yang membutuhkan jasa mereka. Karena itu dirinya dan rekan satu timnya terpaksa lembur. Mencari sesuap nasi dan sebongkah berlian kalau kata Radit.
Mobilnya kembali berhenti, kali ini karena trafic light. Saat menoleh keluar jendela, tak sengaja Vanno melihat orang yang dikenalnya sedang berdiri di samping mobil dekat trotoar. Setelah lampu menyala hijau, ditepikan mobilnya ke pinggir jalan.
"Nania..." panggil Vanno setelah turun dari mobil. Sosok yang dipanggilnya berbalik. "Pak Vanno," sapanya ramah.
"Kenapa mobilnya?" tunjuk Vanno pada mobil di depannya.
"Mesinnya mati tiba-tiba. Saya sudah memanggir orang bengkel, tapi belum datang juga," keluh Nania.
"Kamu mau ke kantor saya kan?" Nania mengangguk. "Ya sudah, tinggalkan saja mobilnya. Berangkat ke kantor dengan saya saja, bagaimana?" tawarnya dengan sopan. Vanno tak mau dianggap sok kenal meski niatnya baik, memberi bantuan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Catch The Bride
RomanceTujuh tahun aku membiarkan hatiku mencintainya tanpa kepastian. Tetapi baginya hanya butuh satu hari untuk membuat remuk hatiku. Tujuh tahunku tidak berarti lagi. Menghilanglah dari hidupku, Karenina. -Rivanno Alamsyah Dipa Auriga-