10. Telephone

18.5K 1.5K 97
                                    

"Bang, kok baru pulang?"

Rivanno dicegat Andien di depan pintu rumahnya sendiri. Belum juga ia mengucap salam, Maminya itu sudah menyambut kedatangannya lebih dulu. Wanita yang masih cantik di usia senjanya itu terlihat kesal dengan dirinya. Mata melotot dan tangannya menyilang di dada.

"Tadi, mama telepon ke kantor, tapi Radit bilang abang udah pulang dari siang. Habis kemana sih, Bang? Kok jam segini baru pulang?"

Vanno mendadak sakit kepala mendengar pertanyaan yang bertubi-tubi dilontarkan oleh Maminya itu. Belum lagi ucapan Maminya yang hampir menyamai kecepatan kereta api. Membuat Vanno semakin pusing saja. Maminya memang bukan wanita yang kalem.

"Bang, jawab dong. Masa Mami nggak ditanggepin. Durhaka ya kamu sama Mami."

Vanno jadi ingin tertawa mendengar ucapan Maminya. Wanita yang melahirkannya itu memang selalu bisa menghibur dirinya. Bahkan diam-diam ia bersyukur karena Maminya sudah membuat dirinya sedikit lupa dengan perasaan aneh yang bercokol di hatinya sejak tadi.

"Abang, nih. Malah ngetawain Mami. Durhaka ya kamu jadi anak." Maminya kini terlihat semakin kesal. Wajahnya memerah karena menahan emosi. Mau tak mau Vanno jadi merasa bersalah.

"Ken Arok..."

Vanno menepuk dahinya. Astaga, Vanno ingin melarikan diri sekarang juga. Maminya sudah memanggil lelaki yang sama tampan dengan dirinya namun dalam versi lebih tua. Bisa dipastikan bahwa sebentar lagi Papinya akan datang, dan ia akan dimarahi. Tak mungkin Papinya tak mendengar teriakan Maminya barusan.

"Ada apa, love? Kenapa teriak-teriak?"

Dari dalam rumah, kepala keluarga Auriga berjalan menghampiri dia dan Maminya. Pandangannya tajam, di tangannya ada surat kabar yang mungkin tadi sedang dibacanya. Nah, habislah sudah. Maminya akan mengadu pada Papinya.

"Ini nih, Abang. Masa aku ngomong nggak ditanggepin, malah ketawa sendiri."

"Abang...." Suara Papinya berat, ucapannya singkat namun mampu membuatnya merasa terintimidasi. "Bener kata Mami kamu tadi?"

"Nggak gitu, Pi. Aku sama sekali nggak punya niat ngetawain Mami. Mami sih nanyanya banyak banget, belum lagi ngomong cepet kayak kereta api, kan aku jadi bingung, Pi," belanya.

"Udah denger kan, love. Makanya kalo nanya itu satu-satu biar Abang nggak bingung," ucapnya bijak.

"Kalian jahat. Nyalahin aku semua." Hentakan kaki Maminya beradu dengan lantai. Kedua lelaki berbeda generasi itu kini hanya geleng-geleng kepala. Takjub sekaligus bingung dengan kelakuan wanita yang sama-sama mereka sayangi.

Vanno meletakkan tas kerjanya di meja lalu menghempaskan diri di sofa ruang tamu. Dilonggarkannya dasi yang terasa mencekik lehernya. Kedua lengan kemejanya digulung sampai siku.

"Dari mana, Bang?"

"Abis muter-muter, Pi. Suntuk."

"Tadi Nina ke sini."

"Oh...."

Hanya satu kata itu yang bisa diucapkannya. Memangnya kenapa kalau Nina kerumahnya? Tidak harus dengan izinnya juga bukan? Nina bebas berkunjung kerumahnya kapan saja.

Gemerisik suara sofa yang diduduki membuat Vanno menegakkan tubuhnya yang semula menyandar. Papinya kini duduk berhadapan dengan dirinya. Mengamatinya seakan mencari tahu apa yang salah dengan dirinya. Insting seorang Ayah terhadap anaknya.

"Berantem sama Nina, Bang?"

"Nggak, Pi."

"Terus?"

Catch The BrideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang