Haiiiii :)
Terima kasih banyak ya untuk kalian yang sudah menjawab pertanyaan di bab sebelumnya. Yang belum berpartisipasi, ayo ikutan. Biar aku bisa jadi lebih baik lagi dan bisa terus menghibur kalian. Mau ngasih kritik? Boleh kok. Aku menunggu hehe.
Ini sebenernya sambungan dari part kemaren, karena kebanyakan jadi ku bagi dua.
Kalo ada typo, salah ejaan, dan kalimat yang rancu, aku minta tolong dikoreksi ya.
Selamat membaca :)
______________________________________________________________
Setelah sama-sama terdiam, Vanno meninggalkan Nina dan beranjak ke dapur—mengambil segelas air untuk Nina. Dia baru ingat kalau belum memberi minum pada gadis yang masih berstatus sebagai tunangannya itu. Sambil menuang air ke gelas, Vanno membuka kembali pikirannya yang tadi ia akui diselubungi kabut amarah. Dia sadar kalau terlalu memojokkan Nina.
Vanno berusaha mengingat-ingat apa saja yang sudah dikatakannya. Dan ... Ya Tuhan, rasanya Vanno ingin memukul kepalanya sendiri. Apa yang tadi dia katakan soal menyudahi hubungan mereka tidak benar-benar serius. Hanya refleks saja akibat emosi berlebihan.
Tetapi Vanno jujur saat mengatakan tidak tahu apa yang harus dilakukannya sekarang. Setelah mendengar semua penjelasan Nina, Vanno malah semakin bingung. Setelah semua yang terjadi, akan jadi apa hubungan mereka sekarang? Katakanlah mereka berbaikan, lalu selanjutnya apa?
Vanno mengangkat gelas yang sudah penuh dan memilih menyudahi berbicara sendiri dengan pikirannya. Ada Nina yang ditinggalkannya di ruang depan dan masih harus dihadapinya.
"Akhtar?" panggil Vanno dengan ragu. Dipindainya seisi ruangan, namun tak nampak keberadaan Nina.
"Tunanganmu sudah pulang."
"Pulang?" Vanno meletakkan gelas di meja samping televisi lalu menghampiri Akhtar yang bersandar di dekat pintu apartemen mereka yang terbuka lebar.
"Menurutmu apa yang akan dipikirkan oleh seorang gadis saat ditinggalkan begitu saja tanpa penjelasan selain pergi sambil menangis?"
Jadi Nina pergi sambil menangis?
"Tapi aku cuma ngambil minum."
"Kalian itu sama-sama bodoh ternyata."
"Maksudmu?"
"Ah... sudahlah, aku malas berbicara panjang lebar dengan orang bodoh. Lebih baik kejar tunanganmu itu." Akhtar menatap sahabatnya sebentar lalu meninggalkan Vanno yang masih termenung di tengah pintu.
Vanno menyadari betul maksud ucapan Akhar yang mengatakan dirinya dan Nina bodoh. Dua orang bodoh yang saling mencintai namun tidak bisa memutuskan langkah apa yang harus diambil untuk memperbaiki hubungan mereka. Mencintai ternyata tidak cukup hanya saling memperhatikan, tapi harus memiliki tujuan dan arah yang sama. Baik Vanno maupun Nina, sekarang belum memiliki keduanya.
Vanno menutup pintu apartemen lalu mengajak kakinya melangkah menuju lift. Mencari seseorang yang diharapkannya memiliki arah dan tujuan yang sama.
*
Nina tidak tahu lagi harus melakukan apa setelah keluar dari apartemen Vanno. Ditinggalkan sendirian tanpa penjelasan sudah cukup untuk membuktikan kalau Vanno memang serius ingin menyudahi hubungan di antara keduanya.
Hanya menangis dan menangis saja yang bisa dilakukannya sekarang. Menyesali dirinya yang sudah sangat terlambat dan tidak mendapat kesempatan untuk berjuang. Cintanya dipaksa berhenti begitu saja oleh orang yang ia cinta. Padahal baru saja ia ingin memulai perjuangan cintanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Catch The Bride
RomanceTujuh tahun aku membiarkan hatiku mencintainya tanpa kepastian. Tetapi baginya hanya butuh satu hari untuk membuat remuk hatiku. Tujuh tahunku tidak berarti lagi. Menghilanglah dari hidupku, Karenina. -Rivanno Alamsyah Dipa Auriga-