The sky was so blue
With clouds and windy too
We were hanging out together
Looking for a beautiful view
Vanno suka melihat langit yang luas dan berwarna biru. Namun, jenis langit yang paling dia sukai adalah langit sore dengan semburat jingganya yang cantik, seperti yang sedang dilihatnya sekarang. Langit yang tadinya berwarna biru cerah kini terlihat makin indah dengan semburat jingga yang mendominasi. Benar-benar pemandangan yang luar biasa.
Jika ini hari biasa, mungkin saat ini Vanno masih berada di kantor berteman dengan koding aplikasi-aplikasi milik klien atau masalah-masalah software yang menyakitkan mata. Tetapi, khusus hari ini dia berada di tempat lain. Sebuah tempat dengan hamparan laut dan ombak yang saling beradu dengan berani, namun tetap teratur. Sesekali, ombaknya membasahi kaki mereka.
Mereka berdua—dia dan Nina, duduk berdampingan di bawah naungan payung yang sama. Tangan mereka saling bergenggaman, sedang pandangan mereka mengarah ke depan, memandangi hamparan laut yang sama.
"Kamu, tahu nggak?" Vanno menggeleng, sengaja membiarkan gadis itu mengungkapkan apa yang ada dalam pikirannya.
"Dulu aku pernah ke sini dengan Nami dan Epin."
"Lalu?"
"Lalu aku berjanji pada diri sendiri kalau suatu saat aku akan kembali lagi ke sini dengan kamu."
"Aku?" Nina menganggukkan kepala. "Kenapa aku?"
"Waktu itu aku melihat ada orang yang pacaran, jadi aku teringat denganmu. Makanya aku sekarang ngajak kamu ke sini."
Vanno tersenyum mendengar penjelasan Nina. "Jadi kamu pengen ngerasain pacaran kayak mereka juga?" Nina mengangguk malu-malu. "Kan sekarang kita udah pacaran, jadi kamu tinggal bilang sama aku kalau ingin sesuatu." Vanno mengelus rambut Nina dengan sayang. Wajahnya merona.
Ah, gadisku yang sungguh sangat manis.
Then we had a conversation
Explanation, emotion and all sensations
And you gave me all your attention
To my action ooh...
Alunan lagu dari ponsel Vanno mengalun, menemani sore mereka.
"Kamu tahu hubungan antara perasaan cinta aku sama kamu dengan laut?" Nina menggeleng. "Kamu tahu kan kalo laut itu luas?" Kini ia mengangguk. Kembali menatapnya dengan sorot mata yang sarat dengan rasa penasaran.
"Laut itu luas sekali, nggak ada batasnya. Persis kayak cintaku sama kamu. Karena itu, aku juga pengennya cintaku ke kamu nggak akan pernah ada batasnya. Supaya kamu nggak akan pernah berpikir kalo akan akan berhenti cinta sama kamu."
You treat me very special
Let the sun and it shines
Be the one that will coming our heart
"Seperti yang kamu tahu, laut itu selalu berombak, begitupun sebuah hubungan. Di masa depan, aku nggak bisa menjamin kalo hubungan kita akan mulus terus. Tapi, aku akan berusaha supaya ombak apapun itu gak akan menyakiti kamu."
Nina tak menanggapi pernyataan cintanya. Gadis itu memfokuskan pandangannya pada hamparan laut di depan kami. Sedang dirinya, hanya fokus pada gadis di sebelahnya, fokus mengamati raut wajah yang lagi-lagi merona dengan cantiknya.
Baginya, Nina itu ibarat laut. Lautan luas yang perlu diselami agar tahu keindahannya seperti apa. Tujuh tahun dia mencintai Nina, selama itu pula dia terus berusaha menyelami hati Nina, mencari tahu apakah Nina memiliki rasa yang sama atau tidak dengannya. Nina bukanlah gadis yang atraktif seperti kembarannya, Karen. Meski Nina adalah gadis yang manis dan penurut, tapi Nina tak pernah banyak bicara. Itulah yang membuatnya agak kesulitan memahami Nina.
Seminggu lalu, saat Nina akhirnya memberi kesempatan padanya untuk bisa lebih dekat dengan gadis itu, saat itu pula dia menemukan keindahan dalam laut yang dia selami. Laut itu luas, seperti Nina. Jadi butuh waktu delapan tahun agar dia bisa berada di keindahan itu, bersama Nina.
"Vanno, aku mau itu." Vanno refleks melihat ke arah yang ditunjuk oleh Nina. Sepasang anak muda seusia mereka sedang berangkulan dengan mesra. "Kamu mau dipeluk juga?" Nina memukul lengannya pelan. "Bukan." Nina lalu menangkup wajah Vanno dengan dengan kedua tangannya, mengarahkan pada tempat yang tepat.
"Oh. Kepala muda?"
"Iya, aku mau kelapa muda."
"Ya udah, kamu tunggu di sini sebentar." Vanno berdiri kemudian melangkah menuju penjual kelapa muda. Menyebut permintaannya lalu menyelesaikan transaksi pembayaran untuk dua kelapa muda.
"Nah, ini kelapa mudanya, nona cantik." Vanno sengaja menggoda Nina. Wajah Nina selalu merona jika dia goda, memberi rasa bahagia tersendiri untuknya.
"Vanno sudah siap untuk besok?"
Besok, rencananya keluarga Vanno akan datang untuk melamar Nina secara resmi.
"Sudah. Kamu tidak berubah pikiran, kan?" Sungguh, sebenarnya Vanno sangat takut Nina akan berubah pikiran. Dia bahkan sempat memiliki pikiran jika Nina nanti akan seperti sepupunya—Celovia, yang membatalkan acara lamarannya sendiri tepat di hari H.
"Aku nggak akan kabur seperti Via kalo itu yang kamu takutkan." Sepertinya Nina mengetahui kegelisahannya. "Lagipula aku takut sama Epin, Karen, dan Nami. Mereka udah ngasih ancaman sama aku kalo sampai berani nyakitin kamu lagi."
Epin, Nami, dan Karen—ketiga gadis yang Vanno sayangi memang bercerita jika mereka sudah memberikan ancaman pada Nina agar tak menyakitinya lagi. Meskipun mereka bertiga menyayangi Nina, tetapi mereka sepertinya lebih berpihak pada Vanno. Apalagi mereka tahu dengan pasti apa yang menimpanya setahun lalu.
"Maaf," ucap Nina lirih.
Vanno menangkup wajah Nina yang menunjukkan penyesalan. Menatap matanya dalam-dalam. Mata hazel itu kini menyorotkan kesedihan. "Aku nggak mau lagi denger Nina bilang maaf. Kita sudah sepakat tentang ini."
Vanno menarik tubuhnya kepelukannya, mendekap tubuhnya dengan erat.Membisikkan rangkaian kata untuk menenangkan hatinya. Nina kemudian balas memeluknya.
Benar-benar sore yang sempurna.
Somehow i knew
That your love was true
Oh i feel it when i spend my perfect afternoon with you.
(Perfect Afternoon- Endah N Rhessa)
***
Jadi, gimana part ini? Oh iya, cerita Celovia bisa dibaca di The Perfect Answer, masih ada hubungannya sama keluarga Auriga juga. The Perfect Answer part 1 rilis hari ini.
Jangan lupa vote dan komentar ya :)
Aku sedih banget liat jumlah viewers sama vote yang jumlahnya timpang :(
KAMU SEDANG MEMBACA
Catch The Bride
RomansaTujuh tahun aku membiarkan hatiku mencintainya tanpa kepastian. Tetapi baginya hanya butuh satu hari untuk membuat remuk hatiku. Tujuh tahunku tidak berarti lagi. Menghilanglah dari hidupku, Karenina. -Rivanno Alamsyah Dipa Auriga-