23. Ode For The Love One

23.5K 1.5K 139
                                    

Udah tau belom kalo bapak emaknya Rivanno mau terbit? BRIDE WARS MAU TERBIT. KYAAAAAAAAAAAA.

Btw, saya udah selese nulis cerita ini sampe tamat. Nggak sia-sia dari pagi ngadep laptop demi menuhin janji kalo CTB bakal tamat sebelum lebaran.

Mohon koreksinya sepeti biasa kalo nemu yang salah-salah. Kalo di part ini komennya banyak, besok pas sahur ku posting lagi hehe. Anggep aja THR buat aku wkwkwkw.

Jadi, selamat membaca ya :)

_____________________________________________________


Bulan berikutnya datang begitu cepat. Rasanya baru kemarin Marco mengutarakan keinginannya untuk melihat permainan piano antara dua lelaki muda yang kini duduk di dekatnya.

"Jadi, siapa yang menang, Om?"

"Nanti Darel, sabar dulu."

Darel tersenyum kecut.

Marco menyandarkan punggungnya ke sofa berwarna cokelat yang sedang di dudukinya. Baru beberapa menit yang lalu dia menyaksikan dua permainan piano. Keduanya berbanding terbalik. Yang satu memainkan musik klasik, sedang satunya lagi memainkan lagu anak-anak. Teknik bermain mereka pun tidak imbang. Namun, bukan seberapa bagus permainan itu yang dia nilai, tetapi kesungguhan. Dan hanya satu orang yang menunjukkan perjuangannya, hingga dialah yang pantas Marco digelari sebagai pemenang.

"Saya harus mengakui kalau permainan kamu mengagumkan, Darel. Mozart's Concerto#21 in C Major tidak mudah dimainkan, dan kamu ternyata bisa memainkannya dengan apik."

"Saya sudah sering memainkan Mozart's Concerto#21 in C Major, Om. Jadi tidak ada kesulitan sama sekali. Apalagi jika diminta memainkan lagu yang dibawakan lelaki itu tadi," Darel melirik Vanno. "Sambil memejamkan mata pun saya bisa." Darel mengejek Vanno lewat kata-katanya. Tetapi Vanno diam saja. Malas menanggapi.

Marco terkekeh. Sedikit banyak dia paham watak lelaki yang katanya ingin serius pada putrinya itu. Darel memang tidak menampakkan kesulitan sama sekali ketika memainkan piano. Berbeda dengan tunangan putrinya yang jemarinya kelihatan sekali masih kaku menyentuh tuts piano. Bahkan dalam permainannya tadi, ada nada yang kurang pas.

"Gimana, Vanno, susah?"

"Susah, Om. Saya lebih memilih merancang software yang rumit dari pada bermain piano."

"Lalu kenapa kamu repot-repot belajar piano? Kenapa tidak menyerah saja? Bukankah masih banyak perempuan yang bisa menerima kamu apa adanya? Ayah mereka pasti akan menyambut kamu dengan hangat setiap kali berkunjung ke rumah. Tidak seperti saya yang banyak menuntut ini dan itu."

Vanno tidak perlu berpikir untuk mencari jawaban atas pertanyaan Papa tunangannya itu. "Karena saya mencintai Nina, Om. Untuk bisa sampai di tahap ini, saya sudah melewati banyak hal. Jadi belajar bermain piano yang rasanya sulit sekalipun tidak masalah. Demi Nina, saya akan melakukan apapun."

"Kalau kamu Darel, apa yang akan kamu lakukan kalau saya meminta kamu memakan durian?"

Dahi Darel berkerut. Membayangkan durian, langsung membuat perutnya bergejolak. Dia mual. "Saya tidak suka durian, Om."

"Oh ya? Jadi kamu akan menolak kalau saya meminta kamu memakan durian?"

Darel mengangguk dengan yakin. Tidak ada dalam kamusnya kata durian, apalagi jika harus mencicipi buah berwarna kuning itu. Darel lebih baik pergi jauh-jauh. Masih banyak buah lain yang bisa di makan.

Catch The BrideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang