13. Beating Heart

20.2K 1.5K 73
                                    

Maafkan ya baru sempet update, masih sibuk di dunia nyata hehe. Semoga masih ada yang nunggu. Btw, covernya baru. Tapi berpotensi untuk kuganti lagi haha.

Karena ini tanpa edit, kalo ada typo dan kurang-kurang lainnya tolong dikoreksi ya.

Selamat membaca :)

_________________________________________________




"Lo kacau banget, bro. Patah hati sih boleh, tapi nggak gini juga."

Vanno tak menghiraukan ucapan Radit yang sejak tadi mengomentari penampilan berantakannya. Wajah kuyu dan pakaian lecek, Vanno benar-benar seperti habis tercebur di rawa-rawa.

Sampai di Jakarta, Vanno tidak pulang ke rumah. Pulang ke rumah adalah hal terakhir yang akan dilakukannya. Tidak mungkin dia bisa masuk ke rumah tanpa ditanyai oleh penghuni rumahnya. Pergi ke Bandung tanpa izin pada orang tuanya saja sudah membuat Vanno beresiko diceramahi habis-habisan. Apalagi pulang dengan keadaan hati terluka seperti saat ini. Dia tidak akan lolos dari sesi introgasi.

"Jadi, mau dibawa kemana hubungan lo sama Nina abis ini?" Radit sudah mendengar semuanya dari Vanno. Sebagai sahabat, tentu saja ia prihatin.

Vanno menggeleng lemah. Dia tidak bisa berpikir jernih sekarang. Disatu sisi dia ingin melepaskan Nina. Di sisi lain dia ingin mempertahankan Nina. Entah apa yang sebenarnya dia inginkan.

Mungkin yang Vanno butuhkan sekarang hanyalah pergi sejauh mungkin supaya bisa berpikir jernih.

"Gue pulang ya."

Vanno bangkit dari duduknya. Radit tidak menjawab apa-apa, hanya menatapnya dengan pandangan kasihan. Dia memang patut dikasihani sekarang, mencintai begitu dalam lalu patah hati berkali-kali.

"Gue yakin lo bisa ngelewatin semua ini."

Vanno menarik kembali gagang pintu dan bergegas pergi. Radit benar, dia pasti bisa melewati semua ini. Bukan baru sekali ini dia patah hati. Dan dia sudah tahu langkah apa yang akan ditempuhnya untuk mengobati lukanya.

*


"Masih ingat rumah, Bang?"

Vanno menutup pintu dibelakangnya. Dari posisinya sekarang dia bisa melihat jarum jam dinding menunjuk di angka dua belas. Sudah tengah malam, namun dia tidak heran kalau ada yang masih menunggunya pulang.

"Duduk!"

Vanno mendekati lelaki yang memberi perintah padanya. Dia duduk berhadapan dengan sang papi. Dia menunduk, merasa bersalah.

"Aku tahu papi mau nanya aku kemana aja. Tapi maaf, Pi, aku Cuma bisa bilang kalo aku dari Bandung. Aku belum siap buat cerita semuanya. Aku sekarang cuma mau tanya, apakah tawaran papi waktu itu masih berlaku?"

Meski masih tertunduk, Vanno tahu kalau tatapan papinya setajam pedang yang siap menusuknya. Dulu saat ia baru nyelesaikan pendidikannya, Zaroca menawarinya agar mengisi jabatan yang kosong di perusahaan mereka. Waktu itu Vanno menolak karena bisnis yang digeluti papinya tidak sejalan dengan ilmu yang didapatnya saat kuliah.

"Kamu berubah pikiran?"

"Iya, dan sekarang aku mau ngambil tawaran itu. Itupun kalau masih berlaku," gumamnya lirih. Siapa yang menyangka pada akhirnya dia menerima tawaran yang dulu mati-matian ditolaknya.

"Papi nggak akan tanya alasan kamu ngambil tawaran ini sekarang. Tapi, satu hal yang papi mau tegaskan disini. Sekali kamu ngambil tawaran ini, nggak ada kata berubah pikiran lagi!"

Catch The BrideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang