A hundred days have made me older
Since the last time that i saw your pretty face
A thousand lies have made me colder
(Here Without You-3 Doors Down)
Bandara.
Vanno membenci bandara.
Tempat pesawat udara mendarat dan lepas landas, naik turun penumpang, bongkar muat barang, dan tempat perpindahan intra dan antarmoda transportasi ini membuat Vanno selalu teringat dengan kejadian itu.
Tempat ini membuat perasaanya naik turun. Sesak. Sedih. Bahagia. Semuanya pernah ia rasakan di tempat ini. Dan kejadian terakhir, membuat Vanno selalu ingin menghindari bandara.
"Bang, kamu beneran nggak mau ikut?" Vanno menganggukkan kepala. Entah sudah yang keberapa kali. Ia sudah tidak tahan berada di sini. Ingin cepat-cepat keluar. Tetapi tidak bisa karena Maminya belum memberi izin.
"Kalo gitu jaga diri baik-baik ya Bang. Jangan lupa makan. Jangan lupa istirahat. Jangan kerja terlalu keras. Harta Papi kamu masih banyak. Cukup buat tujuh turunan." Maminya memberikan wejangan lalu memeluknya erat.
"Love—" Papinya memanggil sang Ibu, mengingatkan tepatnya.
"Cuma bercanda." Maminya terkekeh.
Suara panggilan sudah terdengar dari speaker. Berarti sudah waktunya kedua orang yang dicintainya itu masuk ke waiting room. Rumah pasti akan sepi tanpa mereka.
"Mami sama Papi masuk dulu ya. Bye sayang." Maminya menarik ia ke pelukannya. Vanno pun balas Maminya lalu gantian memeluk Papinya. "Jodoh gak akan kemana, son." Bisik Papinya di telinganya. Dia hanya tersenyum getir.
Jodoh? Vanno mendengus. Sulit rasanya baginya untuk kembali percaya soal jodoh ataupun berjodoh. Karena nyatanya, ucapan orangtuanya mengenai benang merah yang terikat sejak Vanno dan gadis itu sejak bayi ternyata hanya omong kosong belaka.
Bayangan Mami dan Papinya sudah menghilang di telan pintu masuk. Mereka berdua akan menjemput adiknya, Epin—panggilan sayangnya untuk Revvina—yang beberapa hari lagi akan wisuda. Vanno memang masuk sekolah bersamaan dengan kembarannya itu, tetapi Vanno beberapa kali loncat kelas dan akhirnya meninggalkan adiknya itu di belakang. Tahu-tahu akhirnya Vanno malah satu kelas dengan Zhafran. Dan terpaksa berteman dengannya, meskipun dia sudah bosan—karena di sekolah tidak ada yang cocok dengannya selain Zhafran.
Epin akan wisuda beberapa hari lagi, karena itulah Maminya bersikeras mengajak ia ke Berlin, tetapi dia belum siap menginjakkan kakinya kembali ke sana. Peristiwa terakhir masih membekas jelas dalam memorinya. Tidak hanya Epin yang wisuda, tetapi juga sahabat adiknya yang lain, termasuk gadis yang Vanno tidak ingin sebut namanya.
Meskipun setahun sudah berlalu. Tetapi hatinya masih belum sembuh. Lukanya belum menutup sempurna. Vanno tidak siap melihat wajahnya, lagi.
Sejak SMA, Vanno memberikan hatinya pada gadis itu, tetapi sampai tujuh tahun berlalu, gadis itu membiarkan hatinya terombang ambing tanpa kepastian. Dan Vanno, dengan bodohnya mengabaikan kondisi hatinya sendiri. Baginya yang penting saat itu adalah melihat perempuan yang dicintainya.
Bahkan ketika gadis itu memutuskan kuliah di luar negeri dan menetap di sana. Vanno-lah yang berkorban mengunjunginya sesering mungkin berharap gadis itu akan luluh melihat perjuangannya. Tetapi apa yang dia dapat? Akhirnya perempuan memutuskan bertunangan dengan lelaki lain. Membiarkan hatinya hancur lebur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Catch The Bride
Roman d'amourTujuh tahun aku membiarkan hatiku mencintainya tanpa kepastian. Tetapi baginya hanya butuh satu hari untuk membuat remuk hatiku. Tujuh tahunku tidak berarti lagi. Menghilanglah dari hidupku, Karenina. -Rivanno Alamsyah Dipa Auriga-