19. Better That We Break (A)

20.4K 1.6K 80
                                    

Hai, cepet kan update-nya. Jadi mulai minggu depan aku akan sangaaaaaaaaat sibuk kerja, jadi kuusahakan seminggu sekali ya update ceritanya hehe.

Kalo ada typo tolong di koreksi ya.

Ini sudah ku post semalam, dan apaaaaaaa cobaaaaaa, ternyata blom di publish. Maafkan aku membuat kalian menunggu.

Selamat membaca :)

___________________________________


Tak ada penyangkalan dalam diri Vanno ketika berhadapan langsung dengan Nina. Debaran jantung yang menggila, masih cukup untuk dijadikan bukti kalau keberadaan Nina berpengaruh untuknya.

Rindunya seakan terobati saat melihat pemilik hatinya berada dekat dengannya. Vanno tak menampik kalau masih ada dorongan kuat untuk segera mendekap erat gadis yang masih berstatus sebagai tunangannya itu. Namun ditahannya, cukup memandangi saja saat ini. Berharap rindunya tuntas meski hanya dengan melihat wajah itu.

"Wah, ada tamu ya?"

Baik Vanno maupun Nina, sama-sama ingin mengutuk siapapun yang baru saja mengeluarkan suara—memutuskan rindu yang belum tergenapi di antara mereka. Waktu yang tadi sempat berhenti saat mereka saling menatap kini berjalan kembali.

Vanno menyadari kalau Nina yang pertama memutus kontak mata. Kini pandangan gadis itu mengarah pada sosok lelaki yang menginterupsi kegiatan mereka. Vanno terpaksa ikut menoleh meski masih ingin memandangi Nina. Di tengah ruangan, Akhtar sedang menggaruk kepalanya, terlihat salah tingkah. Kalau boleh, rasanya Vanno ingin segera melempar Akhtar dari apartemen.

"Hei, kalian berdua! Jangan menatapku seperti itu.... Oh, baiklah.... Aku tahu, aku tidak diharapkan disini." Akhtar yang tahu diri langsung bangkit dari duduknya dan berjalan masuk ke dalam kamar.

Vanno memilih mengabaikan ucapan Akhtar dan mengajak Nina masuk ke dalam. Vanno menggeser tubuhnya yang berada di tengah pintu menjadi ke pinggir lalu mempersilakan Nina masuk lebih dulu.

"Ayo masuk. Duduklah di mana pun kamu mau." Nina mengangguk, kemudian duduk di single sofa, sedang Vanno memilih duduk di sofa panjang seberang Nina.

Atmosfer penuh kecanggungan sangat terasa di ruangan itu. Dua orang yang saling mencintai namun sama-sama tidak memiliki keberanian untuk membuka suara. Hanya saling berpandangan, menilai kondisi masing-masing yang tampak oleh mata.

"Kapan datang?" Vanno yang akhirnya memiliki inisiatif untuk membuka pembicaraan.

"Tadi pagi. Aku sempat kesini, tapi apartemenmu kosong."

"Aku sedang pergi."

"Nina—"

"Vanno—"

Mereka berdua tertawa kecil. Agak lucu karena mereka secara bersamaan ingin mengutarakan sesuatu. Namun tawa itu tak berlangsung lama, masih saja kecanggungan yang mendominasi di antara keduanya.

"Oke, ladies first," putus Vanno akhirnya.

Nina mengangguk. Diberanikannya untuk menatap langsung netra tunangannya. "Aku lebih dulu ingin minta maaf untuk semua kesalahanku padamu. Untuk semua hal yang membuatmu merasa sakit. Untuk membuatmu menunggu bertahun-tahun tanpa kepastian. Dan membiarkanmu berjuang sendirian dalam hubungan kita. Aku minta maaf untuk semuanya."

"Lalu?"

"Maukah kamu mendengarkanku sampai selesai?"

"Oke. Silakan lanjutkan."

Nina menatap Vanno lekat-lekat. Terlihat jelas kalau gadis itu gugup, beberapa kali menghela napas panjang sebelum mulai buka suara kembali. "Aku tidak tahu harus mulai darimana. Mungkin dari lelaki yang kamu lihat di Bandung. Namanya Darel, dia teman kuliahku. Aku tidak bisa membantah kalau memang terjadi sesuatu antara kami. Kami bersahabat, namun dalam persahabatan antara lelaki dan perempuan pasti ada cinta yang terselip disana. Darel mencintaiku. Semua hal yang kamu saksikan di Bandung adalah hasil perbuatan Darel yang sengaja ingin menjauhkan kita. Dan aku tidak menyangka kalau kita benar-benar jadi jauh. Aku sebenarnya kecewa karena kamu pergi begitu saja."

Catch The BrideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang