Hai :) Sebelumnya aku mau mengucapkan terima kasih untuk kalian semua yang sudah membaca ceritaku, berkomentar, dan juga memberi vote. Tanpa kalian aku bukanlah apa-apa.
Maaf kalau komentar di part sebelumnya belum dibalas. Nanti akan kuusahakan membalas semuanya hehe.
Seperti biasa, kalau menemukan typo, ejaan yang salah, kalimat yang rancu, atau malah part ini terasa gaje banget. Jangan segan-segan untuk memberitahu aku ya :)
Aku nggak tahu nulis apa, dari pagi susah banget buat nulis part ini. Maafkan kalo gaje -.-
Selamat membaca :)
___________________________________________
"Mbak Nina tinggal di apartemen ini juga?"
Nina mengangguk, "iya, di lantai lima belas." Matanya fokus menatap ke arah lelaki yang berstatus sebagai tunangannya sehingga ia terlihat malas menanggapi pertanyaan lawan bicaranya. Bahkan Nina tidak menatap lawan bicaranya saat menjawab pertanyaan tadi.
Nina tidak ingin seperti itu, namun pemandangan di depannya membuat hatinya terasa tercubit. Tunangannya kini tengah tertawa terbahak-bahak karena mendengar gurauan seorang gadis muda. Tawa lepas yang tidak pernah ditunjukkan lelaki itu saat bersamanya.
Gurauan itu memang lucu. Namun, entah kenapa dia sendiri tidak bisa tertawa layaknya orang-orang di ruangan ini. Dia merasa terasing di tengah orang-orang ini. Mereka semua bercanda ria, tetapi hanya dirinya yang diam.
Nina memperhatikan gadis yang bersama dengan Vanno dan Akhtar lekat-lekat. Gadis itu sendiri sepertinya sadar kalau diperhatikan karena Nina menangkap ada perubahan kecil pada raut wajah itu. Roman tidak nyaman tampak meski gadis itu tengah tertawa. Kelihatan sekali kalau gadis itu berusaha menutupi ketidaknyamanannya.
"Vanya itu adik Mbak Nania?" Akhirnya Nina bersuara juga. Awalnya, saat Vanno mengajaknya ke sini, dia cukup kaget karena mendapati ada Nania, dan seorang gadis bernama Vanya. Gadis yang sekarang tengah jadi pusat perhatian Vanno dan Akhtar.
"Iya."
"Mbak Nania udah lama di Frankfurt?"
"Nggak, baru beberapa hari."
"Vanya ceria banget ya, Mbak."
"Iya, Vanya anaknya memang gitu, mudah akrab sama orang lain."
"Kalian tinggal di lantai berapa?"
"Di lantai enam belas. Di lantai ini juga kok."
Nina diam. Sudah cukup basa-basinya. Apalagi setelah mendengar kalau Nania dan Vanya selantai dengan Vanno. Nyeri yang menyelinap ke hatinya kini bertambah kala melihat Vanno terus saja tertawa lepas seperti itu dengan gadis lain. Bukan dengannya. Interaksi Vanno, Vanya, dan Akhtar membuatnya iri. Nina jelas tidak akan bisa seperti Vanya yang ceria. Nina hanyalah gadis pendiam yang tidak bisa menunjukkan perasaannya.
Vanno dan Akhtar sudah berhenti tertawa karena Vanya mengatakan akan menceritakan sesuatu yang berbeda. Kini Vanya memasang wajah serius. Tadi dia menyebutkan ceritanya mengenai Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya.
"Jadi ya, Kak. Si Cacing itu bodoh banget deh, masa dia terus-terusan tinggal di tempat yang banyak kotorannya. Padahal kan bau banget. Pas ada yang ngajak pindah, dia malah nggak mau. Dia lebih suka tinggal sama kotoran yang katanya harum itu. Kan bodoh banget ya, Si Cacing itu.
Ngerti nggak, Kak, maksud cerita aku ini? Cerita ini sebenarnya mengandung pesan kalo kita itu nggak boleh terus-terusan hidup di zona nyaman. Karena apa coba? Karena hidup ini pasti ada zona nggak nyamannya. Nggak semua hal yang kita mau itu bisa sesuai sama keinginan kita."
KAMU SEDANG MEMBACA
Catch The Bride
RomansaTujuh tahun aku membiarkan hatiku mencintainya tanpa kepastian. Tetapi baginya hanya butuh satu hari untuk membuat remuk hatiku. Tujuh tahunku tidak berarti lagi. Menghilanglah dari hidupku, Karenina. -Rivanno Alamsyah Dipa Auriga-