Sera
Gelap. Sunyi. Hampa.
Kata-kata itulah yang pertama kali kupikir saat aku sadar. Disekelilingku tak ada penerangan apa pun. Seolah-olah tempat yang kupijak ini memanglah tempat suram dan mengerikan.
Butuh beberapa waktu untuk menyesuaikan keadaan di sini. Setelah terbiasa, aku kembali mengarahkan kepalaku kiri-kanan dan tahu tempat apa ini.
Ruang Musik.
Kulangkahi kakiku, mengelilingi isi ruangan ini. Tempat ini luas sekali, dengan penerangan cahaya dari jendela. Ada banyak alat musik di sini. Mulai dari gitar, drum, biola, angklung, gamelan, gujeng, marakas, tifa, dan piano.
Terutama piano.
Yah, banyak rumor tak menyenangkan mengenai piano itu. Jane bilang piano itu piano terkutuk, pembawa bencana. Aku tak terlalu tahu kenapa tapi yang pasti siapa pun yang memainkannya, maka kesialan akan merasuki si pemainnya.
Baru saja menatap piano, tiba-tiba aku mendengar sebuah suara.
Jantungku serasa berhenti berdetak ketika mendengarnya. Pelan-pelan, kudekati piano itu dan untuk beberapa aku hanya diam terpaku sambil menahan rasa takutku.Piano itu memainkan tuts dengan sendirinya.
Bagaimana bisa? Apa piano ini sejenis piano otomatis? Tidak, zaman sekarang belum ada piano seperti itu. Lalu kenapa...?
Brak!
Kepalaku terarah ke asal suara tadi. Sebuah pintu yang ditutup dengan keras dan kuat. Aneh, bagaimana mungkin pintu itu tertutup rapat? Mungkin karena angin yang berhembus kencang?
Saat masih berpikir, tiba-tiba kurasakan ada sesuatu yang bergerak cepat dibelakangku. Tapi saat aku menoleh, tak ada siapa pun di sana. Yang ada hanyalah benda-benda yang ditutupi kain putih.
Oke, ini aneh sekali. Kenapa aku bisa ada di ruangan ini? Bagaimana mungkin sebuah piano bisa menekan tuts tanpa ada orang yang memainkannya? Apa memang angin kencang yang membuat pintu tadi tertutup dengan keras?
Juga, kenapa ada benda yang ditutupi kain putih di sini?
Penasaran, aku berjalan mendekati kain putih tersebut dan menariknya keluar.
Sebuah cermin berbentuk persegi panjang tegak, di mana pantulanku langsung ada saat kusibak. Namun ternyata ada sosok lain ada di cermin itu.
Sosok itu rupanya adalah sosok gadis remaja. Rambutnya panjang terurai lurus, mata abu-abunya menatapku dengan seram, seragam SMA yang roknya alih-alih abu-abu justru hitam. Kukira ia mungkin siswi dari program pertukaran pelajar namun begitu melihat logo kemejanya--sebuah pohon berdaun 3 dengan angka 47 di bawah--aku langsung tahu bahwa ia adalah siswi dari sekolah ini, Sekolah Harapan 47.
Tapi siapa?
Aku tak pernah melihatnya di sekolah--atau mungkin aku tak pernah mengenalnya. Mungkin Mark atau Jane tahu. Tapi seingatku mereka tak pernah bilang soal gadis bermata abu-abu yang memakai rok hitam.
Kubalik badanku untuk bertanya padanya kenapa ia bisa di sini. Atau bertanya kenapa aku malah di sini. Mungkin ia tahu.
Tapi ia tak ada dibelakang.
Kuarahkan kepalaku ke cermin dan hampir ingin melompat saat menyadari bahwa gadis itu tetap berada di cermin.
Oke, ini benar-benar menakutkan. Apa jangan-jangan yang kulihat ini sejenis bentuk ketakutanku? Semacam ilusi?
Mataku melirik kebelakang dan menemukan hasil yang sama: tak ada siapa pun dibelakang.
Entah mengapa, kurasakan ada sesuatu didepanku sekarang ini. Dadaku berdentum semakin keras. Kedua tangan maupun kakiku bergetar. Mataku masih terpejam. Sebisa mungkin kutelan air liurku, berusaha menekan rasa ketakutan sekaligus rasa penasaran.
Tenang, tenang, tenang.
Setelah tenang, kubuka mataku perlahan lalu mengarahkannya di depan.
Jantungku serasa lepas kendali saat melihat gadis itu berdiri didekatku dan membekab mulutku.
Refleks, aku memberontak sambil berusaha untuk melepaskan mulutku darinya tapi tak kunjung berhasil. Bisa kurasakan seluruh tempat ini mulai menghitam, tubuhku yang mulai tenggelam ke lantai, suara bisikan penuh amarah, dan warna kedua bola mata yang berubah semerah darah.
Inilah hukumanmu, desisnya, kau pantas mendapatkannya! Rasakan!
Dengan ngeri, sebilah pisau besar menghujam tubuhku...
Aku terlonjak dari kasur, berkeringat dingin. Jam menunjukkan waktu dini hari. Kupegang kening sambil menjernihkan benakku.
Mimpi. Pasti aku terbawa suasana tegang akibat ajakan Mark untuk menonton film horor lama (sebenarnya ia juga mengajak Jane namun ditolak mentah-mentah lantaran takut) hingga mengalami mimpi buruk. Kukira tadi itu benar-benar nyata.
Benar-benar mimpi buruk yang suram.
Kubenamkan kepalaku ke kasur dan kembali menutup mata, mencoba untuk tidur.
Tapi pikiranku masih belum bebas dari mimpi itu.
A/N : tegang? Seram? Yep, sengaja dimasukin MUAHAHAHA *plak*
Jadi gimana menurut kalian? Apa bagus? Silahkan berkomentar dan menge-vote cerita ini.
Salam hangat,
Kenix atau Kir
KAMU SEDANG MEMBACA
Kutukan Nada [2]
Mystery / ThrillerThe Grudge Series #2 Lima bulan setelah insiden peneroran MOS, kehidupan SMA Jane, Sera, dan Mark terlihat santai-santai saja. Hingga suatu hari, seorang gadis meminta ketiganya untuk menolong masalah di klubnya secara diam-diam. Lalu di saat yang b...