Hans
Seminggu berlalu cepat sekali.
Murid-murid masih menggosip tentang kejadian yang menimpa Anna Natalia. Berita itu menyebar dengan cepat dan cukup menghebohkan satu sekolah. Kendati guru-guru berusaha agar siswa-siswi tidak mengungkit peristiwa tersebut, gosip itu tetap saja dibicarakan.
Begitu Anna siuman keesokan harinya, dia tidak mau bilang apa pun. Dia begitu ketakutan saat inspektur bertanya soal orang yang mencekiknya atau mengenai hubungannya dengan Elise. Bahkan ia berteriak histeris dan mulai meracau kata-kata yang tidak masuk akal seperti "kutukan", "hantu pianis", "dendam lama".
Penyelidikan kami pun tak membuahkan hasil. Selama seminggu penuh, kami berempat bertanya kepada teman-teman angkatan Anna. Dan hasilnya nihil. Klub Musik juga tidak beruntung. Belakangan anggota mereka mulai dijauhi, dianggap sebagai pembawa bencana dan kutukan.
"Cih, yang bener aja!" Mark berdecak. "Cuma gara-gara ketua klub kalian nyaris mati, seantero sekolah ini malah mikir kalo ini ulah kutukan hantu segala."
"Tapi dampak masalah ini cukup serius," terang Bulan ketika kami berdatangan ke ruang musik. "Anggota lainnya ketakutan banget. Mereka sempet pikir kalo mereka bakal jadi korban berikutnya. Guru-guru bilang kami boleh pindah klub lain untuk sementara waktu."
Sera yang sedari tadi memetik senar gitar berkata, "Tidak mengherankan mengapa mereka ketakutan, mengingat sekolah ini punya cerita-cerita supernatural."
"Tapi apa sampe perlu berpikir yang nggak-nggak?! Ayolah, ini udah abad 21, Bapak-bapak dan Ibu-ibu yang terhormat. Pake otaknya dong! Masa pake otot doang?!"
Terkadang aku selalu lupa kalau sohib semasa kecilku ini adalah cowok paling tidak peduli dengan keadaan sekitar dan suka mencibir orang seenak jidatnya.
"Maklumilah, Mark. Orang-orang di sini kebanyakan rajin nonton film-film horor kayak lo. Makanya mereka gampang takut," celoteh Jane.
"Tapi setidaknya pake logika dong! Kan Anna itu dicekik, bukan dikutuk! Dan jelas dong kalo si pelaku itu orang, bukan hantu! Hantu mana mau pake cara begitu? Mereka sih lebih suka menakut-nakuti orang."
Sepertinya cowok ini sudah keseringan nonton film-film bertema supernatural.
"Prioritas utamanya adalah," ujarku, "siapa pelaku yang mencekik Anna? Apa orang yang ia benci? Atau dia hanya dimanfaatkan saja sebagai kedok dari 'kutukan' ini?"
"Yang kita ketahui sejauh ini," Sera kembali bicara, "sesuatu terjadi kepada Anna, Vio, dan Elise dua tahun silam. Nah, apakah itu? Menurut keterangan beberapa teman-teman angkatan mereka, mereka sering berdiskusi dengan serius. Ketika ditanya apa, mereka hanya berkata bahwa mereka akan mendiskusi soal acara jalan-jalan akhir pekan atau mengerjakan tugas-tugas sekolah."
"Mungkinkah pelakunya adalah orang yang ingin membungkam saksi kejahatan pelaku?" tukas Jane dengan nada serius.
"Bisa jadi, tapi jangan buat asumsi asal-asalan dulu." Jawabku.
"Benarkah? Kurasa itu tak sepenuhnya salah." Mulai lagi deh, kebiasaan cewek satu ini yang kembali berakting Drama Queen. "Memang kita tak boleh membuat kesimpulan tanpa berpikir. Namun, tak ada salahnya bila kita membuat beberapa kesimpulan yang dapat didasarkan oleh fakta. Jadi jika seandainya kesimpulan pertama salah, maka kita sudah bisa mengambil kesimpulan-kesimpulan yang sudah dipikirkan."
"Tapi kalo kesimpulan-kesimpulannya nggak cocok dengan apa yang fakta-fakta udah jelaskan, percuma namanya."
"Seperti yang kubilang tadi, tak ada salahnya."
Helaan napas keluar dari mulut Mark. "Gue nggak paham apa yang lo berdua katakan, tapi bisa kita kembali ke fokus kasusnya?"
"Whatever, bro." Sahutku cepat. "Ngomongin soal kasus, kira-kira kalian punya tebakan siapa pelakunya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Kutukan Nada [2]
Mystery / ThrillerThe Grudge Series #2 Lima bulan setelah insiden peneroran MOS, kehidupan SMA Jane, Sera, dan Mark terlihat santai-santai saja. Hingga suatu hari, seorang gadis meminta ketiganya untuk menolong masalah di klubnya secara diam-diam. Lalu di saat yang b...