Bab 1 (R)

4.4K 319 16
                                    

Jane

Aku bakal menghabisi oknum itu.

Yah, bukannya aku tak tahu niatnya itu sebenarnya baik. Tapi, ya Tuhan, caranya itu keterlaluan banget. Aku sudah kehabisan sabar oleh ide-idenya yang liar dan penuh kegilaan--tidak gila juga sih tapi standarnya sama saja.

Coba pikir. Pagi-pagi ini aja aku mendapati ponselku sudah berkicau sebanyak lima kali. Padahal seingatku alarm ponselku tidak akan mengeluarkan suara berkali-kali. Saat aku mengeceknya, rupanya ada telepon dari si oknum tak bertanggung jawab itu. Ketika aku meneleponnya, dia berteriak dengan lantang, "Neng! Kenapa lo nggak jawab telepon gue?!" dan sebelum aku sempat menjawab dia kembali mencerocos, "Oke, later aja! Sepuluh menit lagi gue bakal sampe di rumah lo jadi lo siap-siap ya!"

Nahasnya, dia malah mematikan panggilan. Saat aku meneleponnya lagi, dia kembali bicara, "Udah siap?"

"Udah siap? buat apa?"

"Udah siap buat pergi bertapa di gunung. Ya jelas udah siap buat berangkat sekolah, Mbak! Udah?"

Sialan. "Belum lah! Gue baru bangun, Pak. Lo pikir gue udah bangun jam segini? Kalo bukan gara-gara lo yang berkicau, gue masih mau tidur tau."

"Ya elah nih cewek. Masih untung gue mau telepon lo. Kalo nggak? Yah, resiko terima."

Argh! Oknum ini malah bikin orang depresi saja pagi-pagi. "Iya, iya. Lo tunggu aja."

Maka setelah beradu mulut sejenak, aku sudah bersiap-siap berangkat sekolah. Ibuku masih tidur di kamar jadi aku membawa kunci rumah dan memasang sepatuku di luar. Tak lama kemudian, oknum yang beradu mulut denganku tadi sudah di depan kompleks perumahan sambil menyandarkan tubuh ke motornya.

Jika kalian pikir orang yang di depanku saat ini adalah seorang cowok nakal dan berpengarai kasar, maka kukatakan pada kalian bahwa kalian benar. Cowok itu, Mark Widya, adalah cowok preman dan pembawa masalah di Sekolah Harapan 47. Penampilannya pun sudah berkata demikian. Raut mukanya yang terkesan jail dan nakal, rambut shaggy panjang dikuncir ke belakang, tubuh yang berotot seperti seorang petinju profesional, kulit kecoklatan akibat sinar matahari, seragam sekolah yang kusut dan penuh coretan musisi idamannya: BÖC dan One Direction (padahal One Direction sudah dibubarkan tapi dia mana peduli)--membuat siapapun tak akan mau berurusan dengan cowok ini.

Kecuali aku, temanku, serta beberapa geng cewek yang super centil.

Untuk catatan, cowok ini dikagumi oleh seluruh cewek-cewek di sekolah--baik murid, guru, pengurus TU hingga petugas kebersihan. Yah, tak heran karena imej wajahnya yang mirip dengan aktor Jepang Ryosuke Yamada. Hal itu yang mungkin membuatnya masih bisa bertahan di sekolah, kendati ia adalah murid paling nakal.

"Yo, Neng! Fresh as usual."

Sejujurnya, aku agak sedikit sebal dengan julukan yang ia berikan padaku. Sudah berkali-kali kubilang padanya untuk memanggilku dengan namaku, Jane. Bukan Neng. Tapi dia pasti tak akan mendengarnya.

"Udahlah, Mar. Back to the topic. Jadi kenapa lo telepon gue pagi-pagi buta?"

"Lo udah sarapan?"

"Nggak. Kenapa?"

"Nah, mumpung gue punya duit, gue traktir lo buat sarapan pagi ini. Di Warung Siap Sedia."

Aku mengerut kening. "Lo telepon gue berkali-kali cuma ajakin sarapan pagi doang?"

"Yah, daripada kagak. Nanti gue yang bayar."

Jadi, tanpa banyak ulah, kami pun ke sana sambil membawa motornya yang super keren--oh ya, dia juga pernah tidak naik kelas dua kali jadi umurnya paling sekitar 18-19 tahun.

Kutukan Nada [2]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang