Bab 3

2.6K 282 4
                                    

Hans

Mata legamnya terus menatapku selama beberapa saat.

Harus kuakui, aku telah memilih waktu yang salah. Saat ini ada dua orang sedang memandangku dengan tatapan keheranan, meminta penjelasan. Terutama cewek Jepang-Korea itu.

Benar juga. Kenapa aku lupa? Dia tidak menggunakan nama itu lagi.

"Tentu," jawabnya lalu berpaling pada keduanya. "Pergilah tanpaku. Aku ada urusan."

Sesaat kedua orang didalam sana kebingungan namum akhirnya mereka mengangguk dan meninggalkan kami di ruangan.

Setelah mereka pergi, gadis itu berujar, "Apa yang kamu lakukan di sini?"

Rasanya ada sengatan menjalar di tubuhku. "Serius? Itu yang lo katakan setelah nggak ketemu selama tiga tahun terakhir?"

Dia memutar bola matanya, "Sudah berapa kali kubilang, kita hanya teman. Tak lebih dari itu, oke? Aku bukan pacarmu."

"Lagipula," lanjutnya, "Kenapa kamu ada di sini? Bukannya kamu harus menyelesaikan pendidikanmu di California?"

"Nggak ada salahnya kan kalo gue masuk sini? Lagian, gue juga perlu ngurusin keluarga gue."

"Apa maksud... oh." Seketika ekspresinya berubah. "Oh... astaga."

"Yeah, lo pasti udah dengar."

"Kapan?"

"Besok pagi. Taman Makam Samudra."

"Aku turut berdukacita."

"Makasih."

Selama sesaat ia diam ditempat, tidak bergerak.

"Maaf aku tidak bisa datang pada hari pemakaman ayahmu." Ucapnya pelan-pelan.

"Nggak apa-apa. Gue tahu waktu itu lo lagi sibuk."

Pandanganku terarah pada jendela ruangan. Langit sudah berubah warna menjadi jingga, tanda kalau hari sudah menjelang malam.

"Kalau begitu, sampai jumpa besok."

Tanpa menunggu responku, gadis itu pergi meninggalkanku disana tanpa menoleh.

***

Begitu keluar dari gedung, aku menemukan mobil Toyota Vellfire berwarna hitam sudah berdiri didekat sana, menungguku.

Saat aku sudah masuk, kutatap wajah sopirku, Pak Joni. Umurnya tidak lebih dari 40-an. Ia memakai kemeja biru dan celana panjang coklat tua. Rambutnya agak brewokan kemana-mana.

"Langsung ke rumah, Tuan?"

"Iya, Pak Joni."

Selama diperjalanan, aku sibuk memperhatikan pemandangan diluar yang semakin menggelap seiring berjalannya waktu melalui jendela mobil. Dengan kecepatan kilat, kilasan memori itu kembali berputar.

"Halo, lo pasti anak kelas sebelah yang pendiam itu kan?"

"Jangan kaku gitu, dong! Senyum dikit kek."

"Lo nggak boleh deketin dia. Bisa-bisa lo keracunan sama pikirannya yang aneh banget itu."

"Jangan pernah mendekatiku. Aku bukanlah orang yang pantas menerimamu."

"Tuan?"

Suara Pak Joni menyentakkan pikiranku dari lamunan. Tak terasa, aku sudah sampai di kediaman keluargaku.

Bukannya aku menyombongkan diri, tapi aku hanya berkata sesuai fakta. Rumah keluargaku bisa terbilang luas--tapi tidak besar-besar amat kok. Bentuknyaseperti villa berbahan kayu mahoni, yang ditanami berbagai jenis pepohonan danbunga. Seperti biasa, saat pintu kayu terbuka, tampaklah sosok kepala pelayansekaligus penasehatku, Daniel.

Kutukan Nada [2]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang