Bab 8

2K 222 13
                                    

Sera

"Jadi, kita ngapain dong?"

Pertanyaan yang kini dikatakan oleh Mark begitu kami pergi ke kantin. Yah, bisa dibilang, Pak David "mengusir" kami dari kasus ini. Karena tak tahu harus bagaimana, kami memutuskan untuk pergi ke kantin. Setidaknya kami masih bisa berdiskusi mengenai beberapa hal dalam kejadian-kejadian belakangan ini.

"Petunjuk nggak dapet. Yang ada kita malah nggak boleh menyelidiki kasus ini. Huh, bilang aja kalo guru-guru di sini nggak mau dipikirin kayak orang tolol," geram Mark. Cowok itu sudah menggerutu dan mengata-ngatai Pak David--dan beberapa guru killer di sekolah--yang bertingkah seperti "guru sok cari perhatian". Kalau seandainya Pak David mendengarnya, kuyakin beliau dan Mark akan membuat seisi sekolah menjadi medan Perang Dunia III.

"Udah, udah. Kalo lo marah-marah terus, mau sampe kapan selesainya?" sahut Hans, berusaha menenangkan cowok yang sedang bad mood itu. "Gue tau kalo lo lagi kesel, tapi kalo lo main perasaan lo, bisa-bisa kita ngundang banyak masalah lagi."

Alis Mark menaik. "Bukannya itu bidang gue ya?"

Jane langsung menggeleng-geleng kepala, seolah-olah berkata Ampun nih cowok, kerjaannya cuma cari masalah doang.

Aku berdeham keras, berusaha kembali ke topik pembicaraan. "Kalau begitu, kita akan pakai cara lama saja."

"Cara lama?" tanya Hans.

"Melakukan penyelidikan ilegal," jawabku pelan. "Tanpa diketahui siapa pun."

"Setuju," seru Mark.

"Oke," jawab Jane.

Kuarahkan kepalaku kepada Hans. "Hans?"

Cowok itu terlihat tidak senang. "Gue nggak yakin ini bakal berjalan lancar."

"Han, aku tahu ini tidak bagus dan tidak baik untuk dilakukan. Tapi mau sampai kapan? Hingga semua korban sudah mati?"

Desahan pelan keluar dari mulutnya. "Oke, tapi gue tetap nggak suka cara begini."

Aku tahu ia akan mengatakannya. "Baik. Jadi... ada yang punya usul?"

"Mari kita meringkas beberapa fakta dalam kasus ini," Mark mulai berkata. "Kita tau kalo rangkaian kasus ini berpangkal dari Elise. Dan ada oknum sinting yang mengancam Klub Musik, mencekik ketuanya, memperlihatkan kode absurd, dan entah apa lagi yang mau oknum ini lakuin. Pelakunya? Mungkin orang yang dendam dengan ketuanya--atau teman-temannya. Mungkin orang yang cemburu dengan Klub Musik. Mungkin orang yang berpotensi psikopat yang suka celakain orang."

"Orang ini pasti super hati-hati," cetus Jane cepat. "Buktinya aja, si oknum belum ketangkap sampe sekarang. Juga, dia pasti cerdas. Merencanakan semua kejadian ini pasti butuh ide dan situasi yang cocok waktunya."

"Speaking of it." Kurabah kantong bajuku dan kuambil ponselku seraya memperlihatkan foto kode tadi yang sempat kupotret diam-diam sebelum dirampas Pak David. "Kalian tahu apa maksudnya?"

Ketiganya menggeleng.

"Mungkin cuma khayalan gue aja, tapi kayaknya kode itu mirip not balok."

Spontan, kutolehkan kepalaku kepada Jane, diikuti dengan Mark dan Hans.

"Kok kalian pada merhatiin gue kayak gue barusan ngomongin hal yang sakti sih?" tatapan cewek bermata heterochromia itu mulai heran.

"Habisnya barusan elo emang ngomong sesuatu yang betul-betul sakti."

"Sialan. Nggak gitu juga kali, Bang."

Nyaris saja aku tertawa oleh tingkah laku pasangan-tak-serasi ini. Bisa-bisa nanti keduanya memberiku pukulan dan jambakan yang mematikan--sebenarnya aku lumayan jago sih, tapi kurasa masih belum cukup setara Street Fight milik Mark.

Kutukan Nada [2]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang