Bab 9

1.9K 222 6
                                    

Jane

Perasaan itu kembali datang.

Jantung berdetak cepat, kaki terasa berat, pandangan melebar dan was-was. Sensasi ketegangan dan ketakutan yang membuatmu menjadi lebih peka dari biasanya. Aku masih ingat dengan jelas bagaimana untuk pertama kalinya melihat sesuatu yang begitu menakutkan dan menyeramkan saat mengalami MOS angkatan SMA bersama Mark dan Sera, betapa tak berdayanya diriku saat melihat pemandangan yang begitu shock.

Bahkan dalam kondisi seperti ini, aku masih bisa merasakannya. Perbedaan tipisnya adalah perasaan kali ini tidak separah sebelumnya. Memang, aku masih shock dan ketakutan. Tapi setidaknya, refleks dan intensi ketegangan dalam adrenalinku dapat kukontrol dengan baik-baik.

Seperti sebelumnya, Sera dan Hans langsung menghampiri Vio dan melakukan pertolongan pertama yang setidaknya bisa membantu hingga ambulans datang. Sementara Mark masih mengecek bagian balkon dan tangga darurat untuk memeriksa TKP dan menjaga keadaan di sana. Aku yakin cowok itu pasti lagi bersemangat banget lantaran kemungkinan bisa menemukan oknum sialan yang sudah berani-berani berbuat kejadian mengerikan ini.

"Bunuh diri? Kecelakaan? Atau didorong?" suara Sera masih tenang dan serius. Bagaimana bisa cewek itu tidak shock dalam kondisi begitu? Padahal, biasanya orang sering shock akut kalau melihat kejadian begini.

Entah mengapa, tiba-tiba kurasakan sensasi menggelitik yang tidak lumrah sekali saat memperhatikan wajahnya. Ya, beberapa kali, diam-diam kuperhatikan cewek itu dengan perasaan aneh. Aku merasa wajah Sera sangat familier. Seolah-olah aku pernah melihatnya di suatu tempat yang berbeda--atau mungkin ia mewarisi wajah seseorang yang sudah kukenal--sebelum masuk SMA. Tapi di mana?

Lalu, secara cepat, kilas gambar-gambar aneh mulai muncul di benakku. Lapisan logam tajam berlumuran darah kental. Tatapan kedua manik hitam yang mengerikan. Semburan warna stroberi muda. Wajah cewek sendu sembari berkata, Lupakan kejadian ini. Jangan pernah mengingatnya.

"Neng! Lo ngelamun apa?"

Gara-gara terlalu kaget dengan suara itu, tangan kananku langsung menekankan sikut ke belakang, membuat si empunya suara meringis kesakitan sembari menyemprot kata-kata kasar.

"Sialan!" umpat si empunya suara yang ternyata adalah Mark. "Masa gue sapa lo aja, lo udah main sikut-sikutan sih?"

"Abisnya lo kagetin gue tau!" balasku. "Kok lo di sini? Bukannya lo mesti jagain TKP?"

"Udah. Dan langsung dialihkan sama petugas polisi."

Oh, benar juga. Mungkin gara-gara terhanyut dalam pikiranku sendiri, aku sampai lupa kalau polisi-polisi sudah menjaga TKP dan melakukan olah kasus. Seperti biasa, Inspektur Cal langsung menanyai Sera dan Hans secara bergantian. Dapat kumaklumi, lantaran keduanya sudah seperti patner in crime yang pro banget.

"Mereka emang pasangan yang cocok ya." Gumaman Mark membuatku menoleh padanya. Dia hanya mengangkat bahu. "Lo liat aja. Dua-duanya hebat dalam memecahkan misteri. Mereka kayak Cormoran Strike dan Robin Ellacott."

"Mar, mereka jelas berbeda banget dari nama-nama yang lo sebut itu," kataku heran. "Lagian, itu kan novel dewasa yang tebal dan mahal banget. Kapan lo beli?"

"Udah lama sih. Kalo mau beli, yah, nabung lah. Masa minta duit sama nyokap gue? Menurut lo, kenapa gue sampe suka lagu Blue Öyster Cult?"

"Mana gue tau. Selera lo kali."

Cowok itu tertawa kecil. "Iya sih, gue emang suka lagu-lagunya. Lagunya lumayan berselera nyentrik."

Menurutku lagunya seperti lagu tidak jelas. Tapi kalaupun aku bilang begitu, cowok keras kepala ini tidak akan memerdulikan. Dulu saat kelas 4, cowok ini lagi kena demam grup band bernama Project Pop. Setiap hari, aku selalu mendengar lirik-lirik lagu Bukan Superstar dengan nada super cempreng yang bahkan mengalahkan suaranya Donald Bebek--bukannya aku mau menyebar hal buruk soalnya, tapi sumpah! Suaranya jelek! Bahkan hal ini sempat membuat beberapa tetangga di sekitarnya menyerbu Tante Nur lantaran cowok itu asik "konser" di kamarnya.

Kutukan Nada [2]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang