Bab 4 (R)

2.5K 253 16
                                    

Well, pertama-tama, maaaaaf banget untuk updatenya yang laaaaamaaaaaa bangeeeeet >_< kesibukan Kir di dunia nyata membuat Kir nggak sempet nulis. Gak cuman itu, Kir bahkan harus hapus-nulis bab ini saking bingung plus nggak ada ide *gawat dah* jadi mohon maaaf ya.

Nah, ini dia bab 4 ;) Sambil membaca, silahkan memutarkan videonya.

Mulmed: Opening Theme anime DC ke 34 "Kimi no namida ni konna ni koi" (I'm so in love with your tears)

Sera

"Jadi, apa yang akan kita lakukan sekarang?"

Pertanyaan Hans membuatku sedikit terhenyak dan kembali berpikir. Jane dan Mark membuntuti kami, dan itu jelas-jelas menandakan dua hal: mereka ingin lebih tahu soal hubungan kami atau mereka penasaran mengapa Hans memanggilku Rei.

Rei. Reina Grey Mardin. Aku tak pernah memakai nama itu selama beberapa tahun. Nama yang kini hanyalah meninggalkan kepahitan. Nama yang telah terpendam untuk selamanya.

Aku menghelan napas. "Kita jalan-jalan sebentar. Untuk pengalih perhatian."

"Ide yang bagus."

Kami pun berjalan menjauhi pemakaman dengam keadaan hening. Tak ada pembicaraan selama kami berbicara.

Akhirnya, aku pun mulai bicara. "Bagaimana keadaan Daniel?"

"Baik-baik aja." Dia menatapku sejenak. "Gue nggak nyangka kalo lo punya temen."

"Yah," sahutku. "Secara kebetulan kami bertemu pada pekan MOS."

"Oh, waktu ada peneroran murid-murid sekolah ya?"

Aku mengangguk.

"Dan yang ngusut kasus itu pasti Pak Kosasih kan?"

"Yep."

"Gimana keadaan beliau waktu itu?"

"Sama seperti dulu, mudah marah dan kurang hati-hati."

Hans tersenyum ganjil. "Mau gimana lagi? Bokap gue aja udah capek kalo asistennya suka bawa-bawa emosi sana-sini."

"Belum lagi jika Mark mulai berulah yang tidak-tidak."

"Nah, apalagi itu? Gue jamin, Pak Cal bakal mengamuk kayak gunung mau meletus."

Sesaat, kami berdua hanya saling memandang satu sama lain. Dari dekat, aku masih bisa melihat ekspresinya yang suram kendati ia berusaha menutup-nutupi ekspresi tersebut.

"Rei—"

"Hans—"

Jantungku serasa berhenti berdetak ketika kami berdua saling menatap satu sama lain. Rasanya ada dinding pembatas diantara kami berdua pada momen-momen itu.

Dan dinding tersebut adalah kecanggungan.

"Em, soal kejadian 4 tahun lalu..."

"Iya, aku tahu," ucapku pelan. "Bagaimana keadaan Katie?"

"Terakhir kalinya kami bertemu, kondisinya oke-oke aja."

Terakhir kalinya? Jangan-jangan dia dan Katie tidak bertemu?

"Kami putus." Sambungnya tegas. "Delapan bulan lalu."

"Oh. Maaf."

"Yeah, tak apa. Lagian, kami berdua memang nggak cocok satu sama lain kok. Dia agresif dan haus perhatian."

Kutukan Nada [2]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang