Fifth

159 20 3
                                    

Devan duduk dikursi belajar kamarnya, menatap layar ponsel yang menampilkan foto profil dari salah satu kontak diponsel tersebut. Foto seorang perempuan dengan gaya rambutnya yang terurai panjang, matanya terpejam sambil tersenyum manis.

Tanpa sadar, Devan juga menautkan senyum dibibirnya.

"dev" seseorang mengetuk pintu kamarnya yang tanpa basa basi langsung masuk.

"gue belum nyuruh masuk" sahutnya, matanya masih menatap ponsel yang sedang digenggamnya itu.

"besok lo udah ikut bimbel" Reno, putra sulung dari keluarga Airizhan yang merupakan satu satunya kakak Devan melempar sebuah brosur bimbingan belajar terbaik dijakarta.

"ga bisa, gue ngelatih paskib" sahutnya sambil mengusap rambutnya yang masih basah dengan handuk karena baru selesai mandi.

"lo udah kelas dua belas, masih aja ngurusin eskul lo yang ngga guna itu"

"lo ngga tau apa apa"

"come on dev, bukan saatnya main main lagi. lo udah harus belajar biar bisa kuliah di universitas bagus, nerusin perusahaan keluarga kita"

"gue? nerusin?" Devan berdecih "bukannya lo yang mau nerusin sendiri?"

"urusin aja tuh perusahaan" Devan meraih brosur yang diberikan Reno tadi, membacanya sekilas dengan membolak balikan setiap lembarnya.

"gue ngga butuh" Ia meraih tangan kanan Reno, kemudian mengembalikan brosur yang diberikan Reno kepadanya.

"pintu masih kebuka kan? keluar gih, gue mau tidur" Devan merebahkan tubuhnya ke kasur, mengusir Reno untuk pergi dari kamarnya.

Reno menghela nafasnya berat, ia akan mencobanya lagi nanti. Ia kemudian berjalan keluar dari kamar adiknya itu.

Keluarga Devan keluarga yang berkecukupan, lebih dari cukup malah. lahir dari keluarga konglomerat dengan perusahaan ternama. Mewarisi kekayaan keluarga menjadi tuntutannya di masa akhir sekolahnya. Tapi bukan itu yang Devan inginkan.

Devan tau sendiri apa yang ingin ia capai, dan ia tau apa yang harus ia kerjakan.

Ia sama sekali tidak tertarik untuk ikut campur dalam perusahaan keluarga mereka.

Orangtuanya menikah tanpa rasa cinta, mereka dijodohkan karena urusan bisnis kedua keluarga. Selama kurang lebih 30 tahun hidup berdampingan, tidak pernah Devan dapati rumahnya dengan suasana keluarga yang hangat. Barang makan bersama dimeja makan.

Mereka seakan memiliki dunianya sendiri, pergi pagi pulang malam. selalu seperti itu.

***

"mau mampir dulu?" Vandra melepas sabuk pengaman mobil yang tersilang dibadannya.

Dhea menggeleng "langsung aja deh, mau mandi. salam aja ya sama nyokap"

Vandra mengangguk kemudian turun dari mobil Dhea "thanks yaaa" ucapnya sebelum menutup pintu mobil.

Dhea menyahut dengan memberikan anggukan ramah.

Pak Rahmat yang melihat Vandra turun dari mobil Dhea itu pun bergegas membukakan pagar "baru pulang neng" tegur Pak Rahmat dengan sopan.

Hai CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang