Menjadi kaku itu terkadang menyebalkan. Tidak peka dengan apa yang terjadi di sekitar. Atau bahkan tidak tahu apa yang terjadi di sekitar. Menjadi kaku itu seringkalinya ya tadi itu; tidak peka. Lebih tepatnya kurang.
Lantas, mau menyalahkan sifat kaku itu? Mau menyalahkan Allah kah?
Tidak, tentu tidak. Tapi coba lihat, ada sisi perspektif yang bisa diperhatikan seksama. Orang yang memiliki sifat kaku itu cenderung tidak peka(lagi), namun tidak semuanya. Seringkali dia peka dengan keadaan sekitar, tetapi tidak tahu harus berbuat apa. Orang kaku itu cenderung mengerti banyak hal, namun berpura-pura untuk tidak mengerti. Dia bingung cara untuk menyeleraskan dirinya dengan sekitar.
Jangan lupakan juga, orang kaku lebih sulit untuk mengungkapkan perasaannya. Mengapa begitu? Karena(lagi) dia tidak tahu bagaimana cara mengekspresikan perasaan karena ia bingung bagaimana cara melakukannya. Memang, hal-hal seperti itulah yang membuat orang bersifat kaku ditertawakan, diremehkan, ataupun dipandang tanpa mata. Hal-hal seperti itulah yang membuat orang bersifat kaku terkadang diejek sedemikian rupa, terutama ketika salah satu tindakan mereka -terlambat momen untuk melakukan sesuatu -dilakukan kemudian.
Hal-hal itulah yang membuat orang-orang seperti ini berjalan di belakang perlahan. Tidak berani menatap orang-orang di depan.
Itulah kenapa aku selalu berjalan di belakang sambil tertunduk.
Senin keempat, November 2014.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aksara Hujan
PoetryHujan tidak selamanya menjadi sosok antagonis. Hujan tidak selamanya menjadi kesalahan di antara kehidupan. Namun, hujan ternyata mampu menjadi jembatan pertemuan bagi dua hati yang saling menyebut nama dalam doa sepertiga malamnya. Hujanlah yang me...