Ada rindu yang luruh, wajah yang peluh, dan langkah yang rapuh. Kala malam semakin malam, dan tak kutemukan rembulan menggelayut di ambang langit. Tak ada gerimis turun hari ini. Hanya sungai matamu yang kian deras mengaliri pipi, menuju muara di segara kesedihanmu. Di muara itulah aku menunggu. Mendekap tangismu, untuk merasakan seperti apa air matamu.
Malam ini, aku hanyalah seorang lelaki patah yang jatuh dalam lamunan. Dalam ruang pikiran perihal kamu yang takmau menghilang. Tiga puluh hari aku lewati tanpa mengingatmu, namun hari ini segalanya luruh. Mimpi buruk, kataku. Dengan napas terengah, aku berusaha menepis semua itu.
Rindu itu memang tajam. Menerabas dinding-dinding yang kucipta, lalu membiarkanku terjatuh dalam naungan sepi. Rasanya begitu senyap. Begitu kelam dan pekat. Hanya lampu kamar yang menjadi penerangan. Tanpamu, duniaku serasa mati.
Padahal, aku sudah memulai perjalanan kembali. Aku sudah menemukan seseorang lain. Tapi, tetap saja, kala potret dirimu kembali terunggah di laman media sosialku, rasanya, perasaan yang dulu kuhunuskan, kembali lagi. Janji untuk tak terjatuh lagi rasanya taklangsai. Aku tumbuh menjadi lelaki yang patah dan pembohong.
Lalu, apa yang harus kulakukan? Tak ada kuasa untuk membakar namamu menjadi abu, lalu mengembuskannya di bibir pantai untuk lantas diterbangkan oleh sesepoi angin menuju suatu tempat entah di mana. Atau mungkin hanya jatuh di tengah samudra dan luruh ke dalamnya. Pikiran ini rasanya kacau sekali.
Dadaku riuh bergemuruh. Memintaku untuk melanjutkan perjalanan kembali. Tentu saja aku ingin. Langkahku (mungkin) hanya terhenti sementara. Mungkin, hanya malam yang tahu seperti apa rasanya hidup tanpa cahaya. Hidup tanpa kamu di dalamnya. Sekalipun, kini almanak sudah berganti dari angka enam ke tujuh. Meski sudah berapa lelaki hadir di hidupmu, dan aku masih saja di sini, mengemasi kenanganmu dalam peti berharga yang enggan dibuang.
Padahal aku sudah berjanji untuk tidak terjatuh lagi.
Mungkin aku yang terlalu jatuh padamu.
Semoga, tatapanku tak segera lindap karenamu. Karena aku ingin memandangmu biasa saja. Karena aku ingin mencurahkan rinduku untuk seseorang yang lain, dan itu bukan kamu.
Jadi, tolong. Aku taklagi ingin mencuri rindu darimu.
Jakarta,
7 Februari 2017
KAMU SEDANG MEMBACA
Aksara Hujan
PoetryHujan tidak selamanya menjadi sosok antagonis. Hujan tidak selamanya menjadi kesalahan di antara kehidupan. Namun, hujan ternyata mampu menjadi jembatan pertemuan bagi dua hati yang saling menyebut nama dalam doa sepertiga malamnya. Hujanlah yang me...