Jangan kautanyakan mengapa aku masih berdiam diri saja di tengah keramaian taman dan membiarkan hujan membasahi parka dan pakaian yang melekat di tubuhku. Jangan kautanyakan mengapa aku membisu meskipun kau berteriak memanggil namaku dari kejauhan. Jangan kautanyakan mengapa aku tak sekali pun menganggapmu ada.
Kau memang tidak ada.
Kau hanyalah bayangan yang selalu bergentayangan. Bukan serpihan kenangan ataupun jejak-jejak manis yang tumpah di jalanan. Kau hanyalah kehilangan yang selalu mengikuti ke mana pun aku pergi. Kau hanyalah hitam di antara putih. Kau hanyalah dirimu yang telah pergi. Kau hanyalah kau, yang kini sudah menyatu dengan tanah dan perlahan basah oleh hujan hari ini. Oleh rinai-rinai yang berkejaran dari pelupuk mataku.
Kau sudah tiada. Dan keramaian ini hanyalah sebuah bising untukku. Lalu lalang pemuda-pemudi, orang tua, anak kecil yang berlari, atau dewasa yang berciuman di bawah pohon, semuanya terasa begitu nyata. Mana ada hal itu terjadi sementara hujan terus saja menderas? Tak ada yang merasa baik-baik saja selama hujan ini menderas.
Aku tahu itu. Aku tahu bagaimana rasanya harus menatap pualammu di antara deras hujan tanpa payung dan jaket. Bagaimana rasanya harus rela terpisah antara tanah dan udara. Dan ketika seminggu lalu kau mengetuk pintu rumahku, aku hampir percaya jika kau takpernah tiada. Bahwa kau hanya tidur sementara dan .menyiapkan kejutan untukku.
Dan aku salah. Aku salah menganggapmu masih berkeliaran. Kau hanyalah untaian kehilangan.
Kau bukan sesiapa lagi. Tidak. Tidak. Kau sudah pergi. Mengapa kau kembali? Apakah karena aku masih saja menyebut namamu dalam setiap doa? Salahkah aku?
Dan hari demi hari kuhabiskan dengan bertanya. Kuhabiskan untuk menulisi kata demi kata yang sama setiap harinya: aku adalah aku yang telah kehilangan, dan kau hanyalah wujud sementara dari doa yang taksengaja sampai ke atas langit.
Kini, di tengah keramaian yang bising dan deras hujan, detik dan tanggal sepertinya tidak bergulir seperti semestinya. Apakah ini campur tangan semesta untuk menertawaiku yang takjua menerima kepergianmu? Ataukah aku yang terlalu jatuh padamu sehingga sulit menemukan jalan mendaki kembali? Mengapa kau melakukan ini padaku?
Aku memutuskan 'tuk melangkah menuju bangku taman dan membiarkan deras hujan terus-terusan membasahi. Tuhan, bagaimana cara aku melewatinya? Aku hilang arah. Di sepanjang perjalanan menuju tempat ini: toko roti kesukaan kau dan aku, swalayan tempatku biasa berbelanja, hingga barisan pedagang kaki lima, selalu kutemukan kau di sana berdiri dan tersenyum padaku sembari melambaikan tangan.
Aku berusaha kuat. Sangat berusaha. Tapi, entahlah. Rasanya ingin menyerah saja. Berpaling dan berkata, mungkin menyusulmu adalah pilihan terbaik. Tapi sekali lagi, entahlah. Separuh diriku berkata bahwa kehidupan itu sesuatu yang berharga. Membuangnya begitu saja adalah kesia-siaan yang sempurna.
Lalu, aku harus bagaimana, Tuhan? Apakah aku harus menunggu hujan reda lalu menghilang? Atau aku duduk di sini sampai membusuk?
Aku butuh jawaban. Aku ... butuh ... jawaban.
Bogor,
3 Maret 2017
KAMU SEDANG MEMBACA
Aksara Hujan
PoetryHujan tidak selamanya menjadi sosok antagonis. Hujan tidak selamanya menjadi kesalahan di antara kehidupan. Namun, hujan ternyata mampu menjadi jembatan pertemuan bagi dua hati yang saling menyebut nama dalam doa sepertiga malamnya. Hujanlah yang me...