Mungkin, aku adalah dedaunan yang gugur dari reranting hatimu. Satu dari sekian lelaki yang pernah tumbuh di sana, lantas jatuh saat kau taklagi mengizinkanku ada. Aku gugur di saat aku butuh kamu. Saat rasanya semestaku mulai pudar, dan kepergianmu hanya akan meruntuhkannya.
Aku terjebak dalam dua hal yang kupertanyakan: aku yang rela gugur atau kau yang memaksaku terjatuh ke pelukan bumi?
Setelah sekian lamanya kita bersama, menautkan rasa dalam katakata, udara, dan senja, rasanya semestaku semakin lengkap saja. Dan tanpamu, hanya akan menjadikannya reruntuhan sejarah.
Aku takbisa mencipta semesta lain.
Selamanya, aku hanyalah menjadi dedaunan yang akan berdiam diri, sampai terinjakinjak dan mengering. Sampai aku membuka mata, dan kutemukan matahari taklagi terang dan rembulan menghilang ketika malam datang.
Mungkin, sesekali, aku harus berdiri. Sekalipun harus gugur lagi, setidaknya aku bisa mencari tahu, bagaimana bertahan tanpamu.
Bogor, 28 Februari 2017
KAMU SEDANG MEMBACA
Aksara Hujan
PoetryHujan tidak selamanya menjadi sosok antagonis. Hujan tidak selamanya menjadi kesalahan di antara kehidupan. Namun, hujan ternyata mampu menjadi jembatan pertemuan bagi dua hati yang saling menyebut nama dalam doa sepertiga malamnya. Hujanlah yang me...