Aku mencintaimu seperti berdiri di peron kereta tanpa detik dan tanggal. Menantikan kepulangan yang takjua ditemukan. Aku mencintaimu karena ketidaksempurnaan yang kelak akan menyempurnakan kelemahanku. Saat separuh diri masing-masing dipersatukan dan melahirkan rasa bahagia yang diam di samudra mata kita. Yang diam di segara rasa paling dalam.
Aku mencintaimu seperti mencintai kesendirianku. Saat tersisih dari keramaian dan meringkuk di dalam kegelapan sembari menumpahkan segala hujan yang takkuat ditampung oleh celung mata. Hujan yang kemudian melebur bersama tangisan langit, melahirkan sesak-sesak yang mengaliri kesepian.
Kehadiranmu seperti sebuah cahaya di tengah kegelapan itu. Saat kupikir mungkin hidup akan lebih baik jika tidak ada kehangatan sama sekali. Hujan setiap hari. Dan apa yang terlihat oleh mata hanyalah kepergian dan kesendirian bertubi-tubi. Saat rasanya jemariku bergemetar hebat, seakan setiap sesak di dalam dada mengalir hebat ke jemariku itu, lalu melahirkan kata-kata melalui goresan pena. Dan kamulah, gadis yang mencintai kata-kata itu.
Aku mencintaimu meskipun pertemuan tak jua ditakdirkan oleh Tuhan. Aku mencintaimu dalam doa yang dilangitkan di sepertiga malam. Dalam resap dan senyap di malam yang kian dingin.
Aku mencintaimu karena sejauh apa pun aku berjalan sendirian, kelak akan kutemukan kamu di ujung sana menungguku.
Bogor,
17 Februari 2017
KAMU SEDANG MEMBACA
Aksara Hujan
PoetryHujan tidak selamanya menjadi sosok antagonis. Hujan tidak selamanya menjadi kesalahan di antara kehidupan. Namun, hujan ternyata mampu menjadi jembatan pertemuan bagi dua hati yang saling menyebut nama dalam doa sepertiga malamnya. Hujanlah yang me...