Bicara tentang pasangan hidup takkan pernah ada habisnya. Kebanyakan topiknya adalah mengenai pilihan. Siapa saja yang diincar, siapa saja yang disuka, atau siapa saja yang hendak dinyatakan perasaannya. Mereka berbicara tentang peluang yang sebenarnya berujung pada dua pilihan: 1 atau 0. Iya atau tidak.
Pagi ini aku mendapat kisah lagi dari seorang teman. Dia bercerita mengenai ketidakberaniannya menyatakan perasaan pada seseorang yang selama ini diawasinya penuh dengan perhatian dan kepedulian. Jarak sudah memisahkan mereka sekarang. Hanya waktu saja yang belum. Aku hanya memberinya saran sederhana, katakan atau menunggu.
Bagaimana jika keduluan? Tanyanya yang kemudian membuatku diam sepuluh ribu bahasa. Bahkan, hingga ia meninggalkanku sendirian di balkon rumah tetangga -aku sedang main di rumah kawan sebelah kamar- pertanyaan itu masih terngiang di pikiran.
Bagaimana jika keduluan?
Aku teringat beberapa hal. Ada perbedaan antara takdir dan peluang. Hanya mitos, jika seseorang berkata bahwa setiap orang memiliki peluang yang sama untuk saling memiliki. Jika iya, buat apa ada pilihan? Hanya takdir yang kemudian menjadi pemisah antara iya dan tidak. Antara angka satu dan nol.
Bagaimana jika keduluan?Lagi, pertanyaan itu terbesit di pikiran. Bagaimana, jika dia benar, justru aku yang keduluan? Karena menyatakan perasaan tak semudah melontarkan lelucon. Karena belajar untuk ikhlas merelakan sama sulitnya dengan menciptakan alat metafisika untuk menangkap energi ghaib menjadi bentuk nyata.
Bagaimana jika aku yang keduluan? Entahlah. Aku sendiri sangsi jika 'kamu yang di sana' pernah menoleh untukku. Entahlah. Biar takdir saja yang datang mengabariku suatu hari nanti.
Jumat ketiga November
Jakarta2015
KAMU SEDANG MEMBACA
Aksara Hujan
PoetryHujan tidak selamanya menjadi sosok antagonis. Hujan tidak selamanya menjadi kesalahan di antara kehidupan. Namun, hujan ternyata mampu menjadi jembatan pertemuan bagi dua hati yang saling menyebut nama dalam doa sepertiga malamnya. Hujanlah yang me...