Aku ingin bilang jika melupakanmu aku bisa. Meski dada harus diterpa sesak bertubi-tubi, seperti dihujani selongsong timah panas. Dadaku terluka. Tubuhku berdarah-darah. Seperti itulah rupanya jika kau bertanya bagaimana perasaanku ketika kaupergi dan tak mengatakan apa-apa lagi.
Mungkin, aku bukan lelaki yang pantas untukmu. Aku hanyalah seorang lelaki yang patah menjadi keping-keping ketiadaan di matamu. Aku hanyalah seorang lelaki yang luruh dari separuh menjadi separuhnya lagi. Lalu, tiada.
Entahlah, apa arti keberadaanku di matamu. Pertemuan memang menyenangkan pada mulanya. Kala debar-debar berbeda mulai riuh di dalam dada kita. Kala tali takterlihat laik mengikat kedua diri kita dalam sebuah simpul senyum terindah yang pernah kutatap.
Namun, semua memudar begitu saja. Bayangmu yang kerap berkelindan di dalam ruang pikiran kini tersapu, entah hilang ke mana. Dan tanpamu, aku berusaha untuk melepaskan. Mencari cara untuk tidak menyakiti diri sendiri. Mungkin, waktu yang sudah terlewati selama ini cukup untuk membuatku sadar seperti apa rasanya berjuang sendirian.
Aku memilih untuk memulai kembali perjalanan.
Jakarta,
4 Februari 2017
KAMU SEDANG MEMBACA
Aksara Hujan
PoetryHujan tidak selamanya menjadi sosok antagonis. Hujan tidak selamanya menjadi kesalahan di antara kehidupan. Namun, hujan ternyata mampu menjadi jembatan pertemuan bagi dua hati yang saling menyebut nama dalam doa sepertiga malamnya. Hujanlah yang me...