9. Caring

4.2K 286 5
                                    

"Mama harus kuat, Ma. Jangan tinggalin Deva. Cuman Mama yang bisa buat Deva kuat, cuman mama yang bisa ngertiin Deva," lirih Deva sambil memegang tangan mamanya dengan berurai air mata.

Vani mengelus kepala putranya. "Mama disini, Deva. Mama nggak kemana-mana."

Deva menengadahkan kepalanya untuk melihat mamanya. "Mama gakboleh tinggalin Deva. Deva gak sanggup Ma ...," tetesan air matanya langsung jatuh. Vani menghapus air mata yang mengalir di pipi anaknya.

"Deva jangan nangis. Deva tau kan mama gak suka liat anak mama nangis, sekalipun kalian laki-laki," ujar Vani lirih. Dia berusaha kuat-kuat menahan tangisnya.

Deva menatap mamanya lekat-lekat. Tatapannya berubah menggelap. "Deva gak akan biarin papa sama perempuan itu, Ma. Deva gak akan biarin mereka buat mama sedih. Deva janji Ma."

Tanpa disadari, Vani mengeluarkan air mata. Dia tidak mau melihat anak-anaknya harus menanggung ini semua. Deva mengeratkan genggamannya dan menyeka air mata mamanya. Dia bersumpah akan menyakiti siapa saja yang berani menyakiti orang yang dia sayangi.

"Deva," ujar Vani lirih. "Mama ... Sayang  ... Deva."

Air mata Deva langsung tumpah. Dia semakin mengeratkan genggaman tangannya, seakan begitu Deva melepasnya, mamanya akan hilang dalam sekejap.

"Deva juga sayang Mama," ujar Deva disela tangisnya. Vani tersenyum lemah. Senyuman itu luntur bersamaan dengan sesak yang menyerang Vani dan bunyi yang panjang dari alat pendeteksi detak jantung. Deva langsung menekan tombol untuk memanggil para perawat ke ruang perawatan. Beberapa perawat dan juga seorang dokter masuk dan menangani Vani. Tiba-tiba semua yang dipandang Deva buram, tiba-tiba menggelap bersamaan dengan bunyi yang panjang.

"MAMAA!" Deva terbangun dari tidurnya. Nafasnya memburu. Keringat membasahi sekujur tubuhnya. Deva meraih gelas di atas nakas dan meneguk semua isinya. Dia menyeka keringatnya sambil mengatur napas. Jam menunjukkan pukul 12:45 dini hari. Deva yakin, setelah ini dia tidak dapat tidur lagi. Dengan sekali gerakan dia mengganti celananya dengan jeans dan pergi dengan mobilnya.

***

Alivia melintas di sepanjang jalan dengan motornya, mencari restoran cepat saji yang buka 24 jam karena tiba-tiba perutnya merasa lapar. Bukan hal yang aneh jika Livi terserang lapar di malam hari. Tapi anehnya, dia tidak mengalami kenaikan berat badan yang drastis, dan hal itu patut ia syukuri.

"Nah ini dia restorannya," ujar Livi sambil mendesah lega. Baru saja dia akan memarkirkan motornya, matanya memicing ketika sebuah mobil terparkir di parkiran sebuah bar yang letaknya tidak jauh dari restoran cepat saji tempat dia berada. Dia merasa mengenal mobil itu.

Pasti si Deva, batin Livi dalam hati. Entah keinginan darimana, Livi malah melajukan motornya mendekati bar itu. Setelah memarkirkan motornya, dia langsung masuk. Musik yang keras dan juga orang-orang berkerumun dimana-mana menyambut Livi ketika dia membuka pintu. Dia mendengus jijik ketika memandangi sekitar.

Orang-orang ini bodoh, ujarnya dalam hati.

Deva juga bodoh.

Tapi dia pinter.

Tapi dia terlalu bodoh untuk dibilang pinter.

Gimana bisa murid terpintar sesekolah bisa berupa murid paling bandel dan suka mabuk kayak dia?

Matanya mencari-cari Deva disetiap sudut bar, siapa tahu Deva sedang bersama perempuan seperti dia dengan Helena. Atau dia sedang berkumpul dengan gengnya. Livi tidak akan heran jika dia mendapati Deva dikelilingi cewek-cewek disekitarnya. Banyak juga beberapa pengunjung bar yang mencoba menggodanya, tapi Livi langsung menghindar.

One and Only (STOP PERMANEN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang