20. I'll Always Be Here

3.3K 249 7
                                    

"Jadi gitu Liv, ceritanya," ujar Alvi sambil melirik Livi. Ekspresi Livi masih sama. Tidak percaya dengan apa yang didengarnya.

Kemarin setelah Deva bercerita, Livi langsung menghibur cowok itu, melupakan semua yang dia katakan dan memilih untuk bertanya kembali pada Alvi keesokan harinya. Meskipun sudah mendengarnya langsung dari Deva, tapi Livi merasa perlu memastikannya. Dan Alvi adalah orang yang tepat untuk ditanyai.

"Gue ... gue gak tau kalau itu semua alasan dibalik sikap buruk Deva selama ini. Oke, mungkin ini sebenarnya hal yang nggak terlalu besar--meskipun kenyataannya besar, tapi ... oh God. Gue gak bisa berhenti mikirin ini, Vi. Its like ... hal itu gak mungkin terjadi sama Deva," ujar Livi.

Alvi tersenyum tipis. "Waktu itu Deva bener-bener terpuruk, Liv. Dia masih kelas 8, dan harus menghadapi hal sebesar itu. Waktu itu, dia bukan anak kecil lagi. Dia udah paham semuanya, dia udah ngerti semuanya. Ya, dia punya kakak laki-laki yang udah cukup dewasa dan bisa bimbing dia. Tapi kakaknya juga sama terpuruknya kayak Deva, meskipun dia nyembunyiin itu semua."

Livi menatap Alvi masih dengan tatapan tidak percaya. Pikirannya melayang pada kejadian kemarin, ketika Deva menceritakan semuanya padanya.

...

"Seperti yang kamu tau, Mama aku udah meninggal beberapa tahun yang lalu. Tapi kamu nggak pernah tau alasannya apa kan?"

"Waktu itu aku belum siap buat kasih tau kamu. Bukannya belum siap, tapi ... aku gak bisa. Rasanya mulut aku gakbisa ngeluarin satu kata pun tentang penyebab kematian Mama aku."

"Mama meninggal karena serangan asma. Waktu itu ada kebakaran di taman belakang rumah aku, dan Mama kebetulan ada disana, sendirian. Mama kejebak, apalagi dia gak bisa apa-apa karena asmanya kambuh. Pelayan rumah langsung panik. Mereka padamin api, tapi waktu api padam Mama udah gak sadarkan diri."

"Mama dibawa ke IGD. Waktu itu jam 10 malam. Aku sama Bryan buru-buru ke rumah sakit begitu dengar kabar itu. Mama sempat sadar, meskipun napasnya satu-satu. Nggak lama setelah itu, Mama menghembuskan napas terakhirnya."

"Aku waktu itu histeris, Lee. Aku gakbisa terima kenyataan. Bryan, orang tua dan kakak-adik Mama juga histeris. Mereka nggak percaya Mama pergi secepat itu. Tapi setelah Mama meninggal, Papa belum juga muncul di rumah sakit. Dia baru datang setelah 30 kali kami telfon."

"Aku marah sama Papa karena dia lupa soal janji makan malamnya sama Mama. Aku makin marah lagi waktu tau kebakaran itu ulah selingkuhannya Papa, yang juga temen Mama dulu waktu SMA. Dia nggak suka sama Mama dari dulu, apalagi ngeliat Mama bahagia sama Papa. Karena Papa nggak mau terikat lagi sama perempuan itu, dia jadi marah dan berniat buat mencelakai Mama."

"Sejak Mama meninggal, keluarga Mama sama keluarga Papa berjauhan. Papa seakan-akan nggak peduli sama itu semua. Dia malah makin sibuk kerja dan sibuk main perempuan. Dia seakan-akan lupa kalau statusnya udah berubah jadi ayah tunggal yang harus lebih memperhatikan kedua anaknya. Dia seakan lepas dari tanggung jawab itu."

"Karena kejadian itu, aku jadi playboy. Aku mainin perasaan semua cewek yang sejenis sama perempuan itu, biar mereka ngerasain gimana sakit yang dialami Mama dan akhirnya berubah."

"Kalau soal kenapa aku sering minum, itu lain lagi. waktu itu tengah malem. Aku turun buat ambil minum karena haus. Aku liat Bryan ketiduran di sofa. Di atas meja ada banyak kaleng bekas alkohol. Aku penasaran, jadi aku coba satu kaleng. Kamu tau, rasanya semua beban pikiran yang aku alamin itu hilang semua. Makanya sejak itu aku selalu jadiin alkohol sebagai pelampiasan dari semua masalah yang aku alamin. Apalagi Bryan dapat beasiswa di luar negeri. Aku jadi makin bebas. Aku ikut balapan liar, pergi pagi pulang pagi, clubbing, dan sebagainya. Tapi kalau nggak ada Alvi, Farhan, Hexa, dan Alex, aku bakal lebih parah dari ini, Lee. Maaf karena kamu baru tau semuanya sekarang."

One and Only (STOP PERMANEN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang