23. Not Again

2.9K 206 1
                                    

Alivia berbaring telentang di atas kasurnya, menghadap ke dinding. Dia melemparkan bola basket kecil ke dinding sambil memikirkan berbagai macam hal. Dari hal yang penting sampai hal yang tidak penting. Bahkan jumlah anak kucing yang dilahirkan oleh kucing peliharaan tetangganya pun terlintas di kepalanya.

Tadi pagi Deva tidak memberinya kabar. Mungkin anak itu ketiduran karena begadang dengan teman-temannya sampai pagi. Yah, Livi sih sudah biasa. Lagipula Livi percaya, Deva dan anak-anak Superior lainnya tidak akan melakukan hal-hal aneh. Mereka semua anak-anak berpikiran waras yang tahu batasan.

Sebenarnya ada satu hal yang begitu memenuhi kepalanya. Seakan-akan pikiran itu menumpuk di kepalanya bagaikan tumpukan dedaunan kering di musim gugur. Seakan-akan ada kotoran yang menyumbat di sebuah saluran. Livi bahkan mengabaikan segunung tugas yang diberikan gurunya dan menyalin jawaban teman-temannya.

Livi yakin, Deva pasti membaca gerak-geriknya yang agak aneh itu. Deva sudah bertanya beberapa kali, tapi Livi tidak menjawab. Lagipula apa yang dipikirkannya itu bukan suatu hal yang besar.

Ya, bukan suatu hal yang besar.

Tapi makin lama hal itu terus mengganggu Livi. Semakin dia pikirkan, semakin sering menghampiri pikirannya. Pemikiran bahwasanya Deva memacari dirinya hanya karena harta keluarganya masih mengusik dirinya. Kalau sudah berkaitan dengan keluarga, Livi tidak bisa berhenti memikirkannya begitu saja.

Tepat di lemparan terakhirnya, Livi teringat satu hal.

Orangtua gue sama papanya Deva kan punya relasi yang bagus. Mana mungkin dia mau ngambil harta keluarga gue? Mereka itu kaya raya, jadi gak mungkin Deva deketin gue cuman demi harta. Lagian, hubungan Deva sama papanya juga nggak terlalu bagus.

Ponsel Livi bergetar. Dia melirik ponselnya yang tergeletak di atas nakas. Dengan malas dia bangkit dan meraihnya.

Deva🐒:

Buka pintu balkon kamu

Livi langsung menoleh ke arah pintu balkonnya. Dia langsung melompat turun dari kasur dan membuka pintu balkon. Dapat dilihatnya Deva bertengger di batang pohon yang berhadapan langsung dengan kamarnya sambil melambaikan tangan. Dia menyandang tas sekolahnya di punggung, membuat Livi sedikit mengerutkan kening karena bingung. Deva mengambil ancang-ancang untuk melompat, bersamaan dengan Livi yang bersiap-siap untuk menahannya jika dia terjatuh. Deva akhirnya mendarat dengan mulus di balkon kamar Livi.

"Untung gak jatuh kan," Livi berujar sambil menarik tangan Deva untuk berdiri.

Deva nyengir. "Keren kan aku? Sebenarnya aku tuh punya semacam gen spiderman di dalam tubuh aku, makanya bisa kayak gitu."

Livi menepuk kepala Deva pelan. "Spiderman juga pake jaring. Kamu pakai tangan kosong."

"Nah, lebih kerenan aku kan?"

Livi mendesah lelah, sedangkan Deva tertawa lebar. Mereka lalu duduk di tepi kasur Livi.

"Ngapain kamu bawa tas sekolah?" tanya Livi.

"Oiya, hampir aja lupa." Deva lalu melepaskan tasnya dari punggung. Saat dia hendak membuka tasnya, dia menoleh ke arah Livi. "Hayo, coba tebak apa yang ada di tas aku?"

Livi terdiam sejenak sambil berpikir. "Hmmm, mungkin PR-PR sekolah? Kamu mau ngajak aku belajar bareng?"

Deva manyun. "Awalnya gitu, apalagi belakangan ini kamu hampir sering nyalin PR aku atau temen-temen kamu daripada ngerjain sendiri. Tapi nggak, aku nggak mau merusak momen indah kita dengan membawa PR kesini."

Livi tersenyum. Dia senang karena ternyata Deva memperhatikan dan menyadari gerak-geriknya di sekolah. "Kamu tau aja ya. Oke, jadi apa dong yang ada di dalam ini?"

One and Only (STOP PERMANEN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang