"Eh tadi gue datang telat lho," kata Amira sambil meneguk minumannya. Dia memang unik. Kalo murid lain bakal kelimpungan karena datang telat, dia justru malah senang. Yah, agak mirip dengan Superior sih.
"Terus lo dihukum apa?" tanya Tara.
"Gue dihukum rapiin perpustakaan selama seminggu! Bayangin deh guys, gue bisa berlama-lama di dalam sana sambil ngadem dan juga baca majalah-majalah fashion terbaru! Lo tau kan perpus sekolah kita tuh adalah perpus yang paliiiing keren?" cerocos Amira semangat.
"Iya! Gue aja belum pernah liat perpus sekeren perpustakaan sekolah kita di sekolah manapun," ujar Dhira.
"Emangnya lo bisa santai-santai kayak gitu?" tanya Alika. "Bukannya ada yang ngawasin lo?"
"Ah nanti gue ajak kompromi orang yang ngawas gue," kata Amira enteng. "Eh Liv gue boleh minta kentang goreng lo kan?"
"Ambil aja," jawab Livi pelan sambil mengaduk minumannya. Amira mencomot kentang goreng Livi sambil mengamati gadis itu.
"Lo kenapa Liv?" tanya Amira.
Livi mendesah, tidak menjawab. Dia menatap keempat temannya itu dengan mata sayu. Bagi Amira dan Dhira, tampang Livi sekarang sudah seperti hantu sedih yang melayang-layang. Bagi Alika dan Tara, tampang Livi seperti tikus kecebur got.
"Masih kepikiran Deva?" tebak Tara.
Livi menatap Tara nanar, lalu mengangguk pelan. "Gue masih ngerasa gak enak, Tar. Apalagi udah 2 hari dia gak sekolah sejak kejadian itu. Iya sih dia emang sakit, tapi kalo sakitnya gara-gara gue gimana?!"
Tuh kan, Livi berpikir seperti itu.
"Gue bakalan ketawa kalo itu emang bener," ujar Tara. "Yaa masa iya sih Deva selemah itu? Oh come on, ini bukan masalah yang sulit buat dia."
"Yeah tapi bakal jadi masalah yang super duper sulit kalo berkaitan sama Livi," ujar Alika sambil melirik gadis itu. "Yakan, Liv?"
Livi hanya mengangguk. "Gue masih kebayang sama wajah dia waktu gue tolak. Gue masih kebayang senyum dia setelah itu. Bagi gue itu senyum paling miris yang pernah dia tunjukin. Gue ... gue gak kuat liat dia senyum kayak gitu, guys. Kadang tiap gue teringat, rasanya gue sesak."
Ada jeda beberapa detik diantara mereka berlima. Semuanya menatap Livi yang tampak seperti kain lusuh. Lemas, seperti orang sakit.
"Lo sayang Deva, Liv," celetuk Dhira tiba-tiba. "Bukan suka lagi, tapi sayang. Cinta. Semuanya."
Livi menatap Dhira sebentar. Mendadak dia justru menangis, menangis kencang. Tangisannya seperti bayi yang kaget karena terjatuh. Keempat temannya sontak kaget dan gelagapan sendiri. Untungnya di kelas hanya ada mereka berlima.
"Aduh Livi, kenapa nangis sih," Alika langsung merengkuh Livi kedalam pelukannya. Livi hanya menangis tersedu-sedu.
"Lo belum jadi pacarnya Deva aja nangisnya udah kayak gini," Tara menggeleng-gelengkan kepalanya sekaligus menatap Livi prihatin.
"Jangan nangis dong Liv," ujar Amira sambil mengusap bahu Livi. "Gue yakin Deva nggak sakit gara-gara lo."
"Gue juga yakin Deva nggak mikir yang aneh-aneh kok tentang lo," Dhira ikut meyakinkan Livi. Livi masih terisak. Dia sendiri bingung kenapa dia menangis. Jarang-jarang dia menangis, apalagi gara-gara hal kayak gini.
KAMU SEDANG MEMBACA
One and Only (STOP PERMANEN)
Teen Fiction[STOP PERMANEN] #76 in TeenFiction (January 5th 2017) ••• Deva adalah tipikal cowok yang biasa kamu jumpai. Ganteng, pintar, jago olahraga, tapi sayang dia playboy dan juga badboy. Dan biasanya, tipe cowok yang seperti ini malah banyak digandrungi o...