Fourteenth

812 49 8
                                    

"Ga, tadi Kak Marka nyariin lo," ucap Iby sambil membereskan meja dari sampah-sampah sisa makanannya.

"Oh," jawab Zega singkat kek gak peduli gitu. Dia memutar kursinya ke arah awal dan menghempaskan bokongnya dengan agak kasar.

"Lo keknya deket banget ya sama Kak Marka?" tanya Iby basa-basi.

"B aja sih"

"Tapi kalian kelihatan cocok kok. Kak Marka itu perfect banget, beruntung banget lo, Ga." cerocos Iby gak peduli dengan jawaban super singkat dari cowok itu.

Zega mengangkat bahu gak peduli, "Bukan tipe gue"

Iby tercengang mendengar jawaban tidak acuh dari Zega. Demi apa, Kak Marka yang udah bisa dibilang sempurna itu bukan tipenya Zega?

"Trus tipe lo yang kek gimana dong?" tanya Iby kepo.

"Udah ah, bacot aja lo. Sama kayak temen lo itu." ketus Zega membuat Iby seketika gak berani ngomong. "Gue mau tidur. Jangan berisik!"

Nyebelin juga ni cowok, pantesan Hanza ngebenci dia, batin Iby dongkol. Dia pun memilih keluar kelas daripada mendekam bersama monster yang lagi tidur.

***

Hanza tambah bete aja begitu dia kembali ke kelas. Gimana enggak, di dalem cuma ada Farlan sama Ian yang lagi ngobrol asik, entah ngomongin apa, Hanza gak pengen tau.

Daripada diem di luar dan keluyuran gak jelas, mending dah gue tidur, batin Hanza lalu duduk di bangkunya dan menelungkupkan wajah di atas kedua lengannya yang terlipat. Dia gak sadar kalo daritadi dua pasang mata terus-terusan menatapnya dengan pandangan ganjil.

"Kenapa tuh anak?" tanya Farlan pelam ke Ian

"Tau tuh, dia lagi marahan sama gue. Gara-gara gue ngasi tau yang sebenarnya ke elo."

"Ck, ini salah gue. Coba aja gue nerima dia, pasti gak bakal kayak gini." gumam Farlan dengan penuh penyesalan.

"Justru lo jujur gitu lebih baik walopun ngerusak persahabatan kalian. Daripada lo nerima dia, padahal lu gak ada rasa. Sama aja lo nyakitin dia." jelas Ian.

"Iya juga sih. Mungkin emang ini yang paling baik."Farlan mengangguk-angguk setuju."Tapi tetep aja, dijauhin orang yang paling deket dengan kita itu rasanya gak enak banget. Apalagi sekarang dia bener-bener gak niat ngomong sama gue. Kalopun dapet ngobrol sepatah dua kata, itupun awkward banget."

"Udahlah, dia kan belum bisa nerima kenyataan. Ntaran juga bakalan biasa aja." kata Ian menenangkan.

Tanpa mereka berdua sadari, Hanza mendengar semua obrolan mereka tentang dirinya walaupun putus-putus saking pelannya suara mereka ditambah suasana di luar kelas yang rame. Dan entah kenapa itu bikin dia malah nangis. Hanza berusaha keras menyembunyikan guncangan tubuhnya akibat menahan isakan yang keluar. Kan bahaya kalo dua cowok yang masih terus liatin dia itu tahu kalo Hanza nangis.

"Tapi lo beneran gak ada rasa sama sekali ke Hanza?" pertanyaan Ian kembali membuat Hanza menajamkan telinga.

"Gak tau juga," gumam Farlan gak yakin. Jawaban abu-abu itu membuat Hanza menaruh harapan walaupun secuil. "Kayaknya sih gak."

Dan seketika Hanza merosot lesu. Memang gak ada tempat lagi untuk dia berharap. Semua udah kandas, jadi gak ada gunanya lagi dia mohon-mohon ke Tuhan supaya Farlan tiba-tiba naksir dia.

"Ck heran gue, lo udah seabad bareng Hanza-"

"Hiperbola lu, seabad."

"Ya gitulah bilangnya." sahut Ian gak acuh lalu melanjutkan kalimatnya yang sempat terputus, "lo bareng Hanza udah lama, mana mungkin lo gak ada rasa? Yang namanya cowok sama cewek kalo dideketin, dalam jangka waktu panjang pula, mustahil kalo gak ada kata 'saling naksir'."

It HURTSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang