Gak perlu ditanya lagi, suasana ruang tamu lebih mencekam dari biasanya. Kecanggungan di antara kami menciptakan kesenyapan yang mengambang di udara. Gak hanya sekali, tapi berkali-kali gue bergerak-gerak gak nyaman di tempat duduk. Kenapa jadi awkward gini sih?
Mata gue melirik ke samping, dimana Leansa tengah sibuk menata rambutnya yang panjang sepunggung. Sesekali, cewek itu merapikan poninya yang sudah mencapai dagu. Gue bertanya-tanya dalam hati, gak risih ya kalo punya poni sepanjang itu? Iya sih kelihatan lebih cantik kalo dia pake poni. Ah udahlah, ngapain gue urusin punya dia. Kurang kerjaan gue.
"Apa lu liat-liat? Baru nyadar gue ini lebih cantik dari lu ya?" Leansa mendelik ke gue setelah merasa gue perhatiin terus.
Gue tersenyum miring. "Secantik-cantiknya lo, gak bakalan bisa narik perhatian sahabat gue."
"Apa? Lu masih bilang dia sahabat? Dia aja udah gak nganggep lu."
Sialan. Seharusnya gue gak terpancing oleh perkataannya yang menjatuhkan. Tapi apa boleh buat, emosi terlanjur menyeret gue.
"Denger ya. Gue sama Farlan masih sahabatan atau gak, itu gak ada hubungannya sama sekali sama lo. Jadi mending lo diem."
Untung gue masih bisa menahan mulut gue agar gak ngeluarin kata-kata kasar. Seemosi apapun gue sekarang, kesabaran gue masih bisa menetralkan. Tapi, bukannya berterima kasih karena gak gue sembur, Leansa malah semakin kurang ajar.
"Kalo gue diem, trus mulut dan pita suara gue, apa gunanya dong? Lagian, gue juga mau ngasih tau lo, kalo Farlan itu sebenernya jijik sama lo." Gue menatap cewek itu skeptis. "Iyalah, mana mungkin ada cowok yang mau deket-deket sama cewek gak tau malu kayak lo. Naksir sahabat sendiri. Cih."
Gue membelalakkan mata mendengar perkataan panjang lebar itu. Darimana Leansa tau? Kan gue nyatain perasaan waktu itu di tempat yang gak mungkin ada orang lain yang mau nguping. Tapi kenapa Leansa bisa tau hal memalukan itu? Apa jangan-jangan... Farlan sendiri yang cerita ke Leansa? Masa mungkin sih dia bagi-bagi cerita yang bersifat pribadi gitu ke sembarang orang? Setahu gue, Farlan itu cukup tertutup. Dia terbukanya cuma sama gue. Tapi lo semua tau kan, sekarang gue sama dia gimana. Ih gak lucu banget kalo Farlan ternyata membuka diri ke Leansa. Gue gak mau posisi gue digantikan oleh musuh gue sendiri.
"Seberapa banyak yang lo tau, Sa?"
"Sebanyak yang Farlan ceritain ke gue."
Deg.
Ternyata bener. Kayaknya, mereka udah deket dari lama. Cuma gue nya aja yang baru ngeh. Hm. Gue gak habis pikir, kenapa Farlan malah deketin Leansa. Kenapa gak cewek lain aja yang lebih pantas. Atau Leansa yang duluan ngedeketin? Entahlah, mau siapa yang duluan ngedeketin, ujung-ujungnya sama aja. Mereka jadi sangat dekat. Dan jujur aja gue jealous tingkat dewa. Dan juga sangat gak terima.
Dada gue serasa disesaki sesuatu. Ada benda yang memberatkan di dalam. Jantung gue berkali-kali mencelus. Gue udah tau kayak apa kenyataannya. Tapi gue masih gak terima.
Gue menundukkan kepala, menatap sepasang kaki gue yang merapat menyentuh lantai putih yang dingin. Air mata gue udah siap-siap mendobrak pertahanan yang gue buat.
Jangan nangis di sini, please... Tunggu sampai gue udah di rumah, di kamar. Gue janji bakalan numpahin kalian kok. Jangan keluar dulu....
Namun, air mata gue gak mau nurut. Jatuh setetes. Mengalir di pipi lalu jatuh di ujung dagu. Gue menutup mata sebentar. Tetes kedua gak bisa gue tahan lagi. Gak peduli dengan Leansa yang sedari tadi melirik gue. Gak peduli pada Farlan yang tiba-tiba datang dan memergoki gue. Gue udah gak peduli lagi.
Perasaan kecewa yang membebani, gue jatuhkan bersamaan dengan air mata yang keluar. Mungkin cuma dengan nangis sepuas gue, rasa ini bisa sedikit mereda. Isakan kecil mulai tercipta disaat air mata bertambah deras.
KAMU SEDANG MEMBACA
It HURTS
Teen FictionTeman-teman bilang, kisah cinta gue itu pasaran. Naksir tapi cuma bisa memendam (kalo lo bilang gue pengecut, itu artinya bukan hanya gue aja yang lo judge tapi juga jutaan cewek yang naksir diam-diam). Sebenarnya sih itu udah kelewat lumrah. Yang l...