Twenty Sixth

740 42 0
                                    

Sepanjang malam itu, otak gue terus aja mengulang-ulang deretan kalimat “serius” pertama yang pernah Zega kasih ke gue. Gue yakin dia serius, dari tatapannya gue tahu. Ada kekecewaan yang tersirat daam suaranya dan kalo gue gak salah lihat, sekilas matanya yang tajam itu meredup. Kesungguhan cowok itu bikin hati gue mencelus. Gue cukup mengerti apa maksud dari kegetiran kalimatnya itu. Karena 'kepekaan' gue lah, gue merasa bersalah di tengah kencangnya debaran jantung.

Gue gak terlalu terkejut karena sejak kami setiap hari chatting-an, gue mulai merasa ada yang berbeda. Akhir-akhir ini, dia memang lebih care di chat. Misalnya dia nanya-nanya tentang kehidupan gue, apa yang gue suka dan gak suka dengan diselingi lebih banyak ejekan sehingga kepeduliannya itu tertimbun seketika. Dan kepastian sudah gue dapatkan. Dia memang benar-benar ada rasa ke gue. Lalu apa tindakan gue selanjutnya?

Tadi siang aja, gue gak sanggup merespon pernyataannya. I was speechless. Gue cuma bisa menunduk dalam-dalam sambil meremas-remas rok abu gue sampe kusut, demi menghindari tatapan mata cowok itu.

“Maaf, gue bikin lo nggak nyaman…” katanya saat itu, setelah lama kami dibalut hening. “Lupain aja omongan gue yang tadi, anggap aja gue cuma berusaha bikin lo baper seperti yang biasa gue lakukan. Makasih udah jenguk gue.”

Lupain aja omongan gue yang tadi.

Gue pengen, tapi gimana caranya kalo setiap saat otak gue gak mampu memutar ingatan yang lain. Gue pengen ngelupain pernyataan cowok itu karena gue benci merasa bersalah. Gue tahu apa yang sekarang dirasakan Zega, sama seperti apa yang gue rasakan ketika melihat Farlan dan Leansa berdua. Dan sekarang gue gak mau Zega juga merasakan hal yang sama seperti apa yang gue rasakan ketika mendapat penolakan.

Gue gak akan nolak siapa-siapa. Gue gak akan menyakiti siapa-siapa lagi. Karena gue tahu seberapa dalam rasa sakit itu.

Dan sekarang. Gue tahu harus ngapain.

Buru-buru gue menyambar hp yang tergeletak di nakas. Sambil duduk di pinggir ranjang, gue membuka layar hp dan mengecek LINE. Gue mengerutkan kening ketika melihat jam digital di layar hp. 21.32. Tapi yang gue dapatkan cuma chat dari Zega kemarin malam. Gak seperti biasanya.

Gue menghela napas dan menatap layar dengan kecewa. Gue takut hal yang gue takutkan terjadi. Tapi gue berusaha berpikiran positif. Dia kan lagi sakit, mungkin cowok itu butuh istirahat yang lebih.

Dengan berat hati, gue terpaksa mengiyakan pemikiran tersebut. Gue berbaring dengan tangan menggenggam hp. Sesekali masih melirik layar yang menampilkan history chat gue dengan dia. Meskipun sudah tengah malam dan nyaris mustahil Zega bakal nemenin gue di chat seperti biasa, gue masih saja berharap. Sampai mata gue mulai memberat dan akhirnya semua menggelap.

***

Seandainya gue punya jin kaya Aladin dan 3 permintaan gue bakalan dikabulin, hal pertama yang gue minta adalah Zega cepet sembuh. Yang kedua, cowok itu bisa cepet-cepet masuk sekolah lagi. Ketiga, kami bisa chattingan tiap malem lagi. Tapi sampai ikan menjadi hewan darat pun, gue gak akan pernah bisa merebut jinnya Aladin. Boro-boro jinnya, ketemu aladin beneran aja mustahil. Eh kok jadi ngomongin Aladin sih? Apa pentingnya buat gue sih…

Jadi yang mau gue curhatin disini sebenernya tentang Zega. Yaaaah you're right if you thought that's all about ZEGA now. Bukan lagi tentang Farlan, walaupun gue gak bakalan nolak seandainya Farlan berubah pikiran dan jatuh cinta ke gue. Gak berani sih bilang kalo gue udah move on, tapi tentang perasaan gue ke Farlan… mungkin udah bisa gue finalkan. Rasa suka ke dia semakin buram dan berasa jauh. Anggap aja udah memudar, walaupun belum hilang sepenuhnya. Yang gak akan pernah berubah adalah rasa nyaman ketika berada dekat dengan cowok itu. Deg-degan dan blushing sih masih, tapi itu kan wajar karena dia seneng banget bikin gue tersanjung.

It HURTSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang