Thirty First

1.9K 74 19
                                    

Tok tok tok…

Nggak terdengar jawaban dari Zega. Masuk aja kali ya? Gue pun membuka pintu yang nggak dikunci itu secara perlahan. Dan apa yang ada dibaliknya membuat gue terkejut.

Sampai di ambang pintu kamar, gue nggak bisa melangkahkan kaki lagi. Serasa kedua kaki ini membeku di tempat. Mata gue terpaku ke satu objek di tengah ruangan. Sebuah kursi diduduki oleh sosok yang kini bernyanyi sambil memetik gitarnya.

kutuliskan kenangan tentang
caraku menemukan dirimu
tentang apa yang membuatku mudah
berikan hatiku padamu

takkan habis sejuta lagu
untuk menceritakan cantikmu
kan teramat panjang puisi
tuk menyuratkan cinta ini

telah habis sudah cinta ini
tak lagi tersisa untuk dunia
karena tlah kuhabiskan
sisa cintaku hanya untukmu
#suratcintauntukstarla

Sampai nyanyian itu gak terdengar lagi, gue masih diam di tempat dengan jantung berdebar kencang.

I'm speechless….

So…?” Zega mengangkat sebelah alisnya bertanya.

Lama gue cuma melongo. Ekspresi kaget bercampur takjub pasti kentara banget di wajah gue. Gara-gara surprise yang dikasih Zega, sukses membuat otak gue korslet sehingga gak bisa memikirkan jawaban apa yang patutnya gue lontarkan.

“…lo bisa main gitar?” dengan dungunya gue bertanya. Ah shit! Rusak udah suasana romantis yang sejak tadi mengatmosfer di kamar ini.

Alis Zega terangkat lebih tinggi, sampai-sampai gue khawatir itu alis bakalan mentok di ubun-ubunnya.

“Eh- Mm maksud gue… permainan gitar lo lumayan,” ralat gue gelagapan. Duh kok gue jadi gugup begini ya? Mungkin saking bapernya…?

Zega meletakkan gitarnya di sandaran kursi lalu ia berdiri. Cowok itu berjalan mendekat hingga jarak kami sekarang hanya beberapa senti.

Gue harus mendongak sedikit untuk bisa menatap wajahnya lebih jelas. Begitu juga dengannya yang menundukkan kepala karena alasan yang sama.

Zega mengangkat bahunya cuek. “Your answer, that's what I need.”

Dia minta jawaban gue! Jujur aja, gue nggak tahu harus jawab apa. Karena gue lupa dia pernah nanya apa ke gue.…

Daripada pusing mikirin jawaban untuk pertanyaan yang sebenarnya nggak ada, mending gue tanya aja langsung. “Emang lo nanya apa tadi?”

Zega menghela napas sambil tangannya mengusap wajah, kentara banget dia berusaha menahan makiannya atas kebegoan gue. Dia mendesah lalu menggenggam tangan gue.  "Kamu mau nerima aku, nggak?”

Wait wait wait….

Jangan bilang ini cuma mimpi! Zega seriusan nembak gue? Oh my… gue nggak bisa mendeskripsikan perasaan gue saat ini.

Semoga yang dia katakan itu bukan termasuk salah satu candaannya, bisa malu kan gue udah kepalang baper.

“Lo… jadi pacar gue?” Serius deh, bukannya gue mendadak berubah jadi cewek tolol. Gue cuma ingin memastikan sekali lagi sampai gue percaya kalau dia beneran nembak gue barusan.

“Iyalah, emang ada selain itu?” Zega gagal menyamarkan nada kesalnya membuat gue mengerucutkan bibir. Yah dia emang gak sabaran sih…

Sorry, gue cuma nggak nyangka aja, secara lo selalu bilang kalo gue bukan tipe lo…” gumam gue.

Dia mendengus. “Ya lo emang bukan tipe gue. Tapi yang namanya perasaan bisa nyantol ke siapa aja, ke cewek kayak lo sekalipun.”

Lha? Emang gue cewek kayak gimana? Huh! Gue tolak baru tau rasa lo!

Hening yang lama. Entah karena apa, tapi kami sama-sama tidak mengeluarkan suara. Sampai beberapa menit kemudia Zega berdeham. Mungkin dia mulai nggak nyaman dengan kecanggungan ini.

“Han, kamu mau jadi pacar aku, kan?” tanyanya pelan dan serius. Gak ada muka-muka jahil ataupun sejenisnya, bikin gue percaya omongannya setulus hati.

Apa sih yang gue tunggu? Kenapa gue masih diam, nggak menjawab? Padahal kan tinggal jujur aja, kok susah banget ya buka mulut…?

Akhirnya, gue cuma mengangguk pelan lalu menunuduk untuk menyembunyikan semu merah di pipi.

Thanks,” Zega mengacak-acak rambut gue. “And sorry, karena gue tanpa persiapan banget. Bunga sama coklatnya nyusul gapapa kan?”

Gue mendongak, menaikkan alis dan tersenyum. “Gue juga tanpa persiapan nih. Lo kalo mau nembak ngekode dulu kek kemarin-kemarinnya, kan gue jadi bisa menyiapkan reaksi apa yang harus gue perlihatkan, nggak malu-maluin kayak tadi. Bego banget pastilah tampang gue, iih…”

“Udah, gapapa biar natural haha…. Lagian, gue suka liat muka tolol lo, lumayan buat hiburan,”

“Ih udah jadi pacar, masih aja suka ngejek gue.” sungut gue.

Zega cuma mencubit pipi gue dengan gemas. Lalu menarik tangan gue buat ngikutin dia keluar kamar.

“Mau kemana?”

“Sini, gue anterin pulang. Sebelum gue berubah pikiran dan jadiin lo bantal guling.”

“Dasar mesuuum!” pekik gue sambil memukul punggungnya pelan dengan tangan gue yang bebas. Dia cuma ketawa puas karena lagi-lagi berhasil bikin gue nge-blush.

Setelah pamitan dengan bokapnya Zega, cowok itu mengeluarkan motornya. Dia memakaikan gue helm tanpa sempat gue cegah.

“Naik gih, bisa kan?” tanyanya.

Gue mikir sebentar, berhubung ini motornya gede banget, susah buat naik ke joknya. “Kayaknya sih…” jawab gue ragu.

“Perlu bantuan eh? Siapa suruh pendek,” katanya dengan senyum meremehkan.

Ah sialan, lagi-lagi tubuh gue jadi bahan hinaannya. “Gak perlu! Gue bisa sendiri kok”

Lalu gue naik dengan agak susah payah hingga akhirnya terduduk manis di belakang Zega.

“Pegangan dong!” ujarnya sambil mencari sebelah tangan gue lalu menuntunnya agar melingkari pinggangnya. Oh my… wajah gue panes bangeeeet!

Motor pun melaju dengan kencang membelah jalanan yang ramai. Selama itu, tangan gue masih nyaman menempel di perutnya. Gue nggak berani gerak dikit, karena emang tubuh gue serasa kaku dan tegang gegara kecepatan motor dan jantung gue yang memburu menikmati kedekatan kami. Semoga kami lama nyampenya. Biar gue bisa terus-terusan meluk dia kayak gini. Berasa surga dunia banget!

***

Yeayy! Aku cukupin sampe disini, setuju ya?

Yang nggak setuju, komen aja biar bisa aku pertimbangin lagi hehe....

Peniu.

It HURTSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang