Twenty Seventh

776 46 1
                                    

Author's POV

Hanza merasa lega ketika esok pagi di sekolah, dia akhirnya melihat Zega lagi. Rasa rindunya berkurang walau sedikit. Tapi, perasaan kesal dan jengkel mengurungkan niatnya untuk segera melepas rindu dengan cowok itu.

Saat itu 10 menit sebelum bel masuk berbunyi, Zega berjalan sedikit pincang menyusuri koridor menuju kelasnya. Hanza yang baru saja keluar kelas untuk sarapan di kantin, tergoda untuk menyaksikan Zega yang berjuang menggerakkan kakinya senormal mungkin. Perasaan iba yang sempat terlintas kini hancur berkeping-keping ketika Zega memergoki Hanza yang terbengong menatapnya. Mata cowok itu melirik Hanza sekilas sebelum kembali berjalan seakan-akan mereka tidak saling mengenal. Mood Hanza seketika kacau. Ia nyaris menganggap ini kutukan karena ini kedua kalinya Hanza dijauhi dan tidak dianggap oleh cowok yang dia taksir. Mungkin kisah cintanya cuma berputar-putar di sekitaran itu saja. Pantas, Ian menganggap hidup Hanza membosankan.

Tapi jika itu memang garis takdirnya, Hanza bertekad untuk merubahnya. Dia nggak akan mengulangi kesalahan yang sama. Dia harus berbuat sesuatu dengan sedikit menurunkan egonya yang kelewat tinggi.

"Kalau elo dijauhin, jangan ikut ngejauh juga. Justru itu bakalan memperjauh jarak kalian. Lakukan sesuatu untuk memperpendek jarak yang ia buat." nasehat Ian terngiang di kepala Hanza. Terkadang, cewek itu lebih suka saran-saran dari Ian dibanding dari Iby. Saran dan nasehat Ian lebih sering bikin dia tobat dan akhirnya mampu melihat sendiri solusi dari masalahnya itu.

Sedangakan kalo Hanza curhat dan minta saran dari Iby, bisa dipastikan yang ia dengar hanya kalimat provokatif yang bikin masalah tambah ruwet, seperti "Han, gue saranin ya, kalo ada cowok yang jauhin lo, yaudah biarin aja dia ngejauh sampai lewat dari ujung dunia. Dia jauhin lo karena dia ngerasa udah gak butuh lo lagi, jadi gak usah deh lo ngejar-ngejar dia. Buktikan kalo lo juga gak butuh orang macem dia."

Jauh kan bedanya? Tapi dengan sekali membandingkan, Hanza udah pasti bakalan memilih saran Ian yang terdengar lebih dewasa. Jadilah, Hanza mulai memikirkan berbagai cara agar ia bisa memperbaiki keadaan sebelum terlambat.

Mungkin dia bisa ke kelas Zega sekarang dan menanyakan kabar cowok itu?

Atau langsung to the point dengan mengakui kalau dia merasa kehilangan selama Zega gak sekolah?

Sekalian aja gue nembak dia biar langsung kelar masalahnya, gerutu Hanza karena dia belum juga menemukan cara yang elegan untuk menyelesaikan masalah gak jelas ini.

***

Tepat seteleh bel istirahat berbunyi, Hanza segera merapikan buku dan alat tulisnya lalu terburu-buru berjalan menuju pintu kelas mengekori Pak Bima.

"Han, tungguin gue elah! Mau kemana buru-buru amat?" tanya Farlan, menghentikan langkah panjang Hanza.

Hanza mendecak gak sabar, "Gue ada urusan. Lo jangan ikut deh, justru bikin ruwet nanti. Duduk manis aja di kantin, ntar gue nyusul deh,"

"Ck, iya iya. Mau gue pesenin makanan dulu?"

"Gausah." Jawab Hanza cepat, secepat dia pergi dari hadapan Farlan yang menggerutu gak keruan.

"Lan..."

Farlan menoleh ke sumber suara yang memanggilnya dan mendapati Leansa sudah berdiri di sampingnya sembari menggenggam lengannya.

"Mending ngantin bareng gue. Gue free kok,"

Farlan sempat ragu. Ia gak mampu menolak ajakan cewek yang bikin dia tertarik akhir-akhir ini, tapi ia sudah mengatakan pada dirinya sendiri agar berusaha menjauh dan menghilangkan perasaan yang mulai tumbuh di hatinya ini demi Hanza.

It HURTSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang