Hanza gak nyangka semua kembali seperti semula, persis seperti apa yang dia harapkan selama ini. Semua yang pernah Hanza lakukan berdua dengan Farlan bukan lagi sesuatu yang hanya bisa ia kenang. Kesedihan yang dulu selalu membuatnya tertekan sudah lenyap bersamaan dengan hari-harinya yang berjalan dengan normal lagi.
Normal. Hanza tidak pernah merasa hidupnya senormal ini. Dia merasa lega karena apa yang pernah hilang kini dapat ia genggam lagi. Kalaupun orang yang ia inginkan tidak bisa dimiliki, tapi Hanza sudah sangat bersyukur Farlan tetap bisa ia pertahankan untuk selalu ada di dekatnya.
Sekarang, Hanza bisa merasakan lagi kehangatan Farlan. Merasa tersengat ketika kehangatan tangan cowok itu menyentuh permukaan kulitnya. Bahkan, hembusan napas yang selalu membuat darahnya berdesir kini terasa lebih kuat. Seakan ia sudah lama tidak pernah merasakannya lagi.
***
Ini adalah pagi yang berbeda dari pagi-pagi yang sebelumnya Hanza jalani dengan datar. Yang membuatnya berbeda adalah kemunculan sosok yang sempat pergi. Sekarang, dia kembali datang dengan sikap dan perhatiannya yang over. Seakan atmosfer menegangkan yang melingkupi mereka berdua selama beberapa minggu terakhir ini tidak pernah ada.
Seperti yang dulu selalu ia lakukan, Farlan kembali mengantar-jemput Hanza.
Hanza telah berdiri menunggu di depan pagar rumahnya ketika Farlan datang. Diawali dengan senyuman kedua anak berseragam putih-abu itu, mereka saling menyapa.
“Udah lama nunggu?” tanya Farlan sambil menyodorkan helm yang selalu dia bawa untuk Hanza.
“Dari sekitar 5 menit yang lalu,” Hanza melirik jam tangannya dengan muka bosan “Itu termasuk lama atau gak?” Ia menyambar helm itu lalu memakainya.
“Itu gak lama namanya,”
“Tapi kok serasa nunggu hujan turun di gurun ya?” Hanza mendelikkan matanya yang dibalas Farlan dengan memencet hidung mungil cewek itu yang agak pesek.
“Udahlah, yang penting sekarang lo gak perlu nunggu lagi. Naik gih!”
“Ck, minta maaf kek udah bikin cecan nunggu.” gerutu Hanza sebal, tapi gak membantah untuk naik ke jok belakang.
“Iyaa, maaf sayang. Udah?”
“Idih, sayang-sayangan. Lo mau bikin gue baper lagi?” ketus Hanza. Raut wajahnya cemberut tapi dalam hati dia senang dipanggil begitu. Setelah sekian lama gak dibaperin Farlan. Jadinya, sekali dimanisin sekarang dia udah baper maksimal. Apalagi mukanya, cemberut tapi nge-blush juga. Keliatan banget muna-nya ya.
“Gue kan emang sayang sama lo. Jadi gak salah kan? Justru lo harus bersyukur, lo cewek pertama yang gue panggil gitu.” jelas cowok itu sambil melajukan motornya dengan kecepatan normal--gak kencang, gak pelan. “Lo juga boleh kok manggil gue sayang kalo lo mau.”
Hanza menghembuskan napas dengan kasar. “Pikiran kita beda ya, Lan. Kalo gue di‘sayang-sayangin’ gitu, gue justru mikir lo naksir gue. Jadi baper deh ujung-ujungnya.”
“Pantes nasib lo ngenes banget naksir gue. Lo nya baperan sih, jadi gampang ngerasa sakit. Maaf ya, gue sering gak sengaja baperin lo. Tapi tenang aja, gue bukan tipe buaya kok.”
Hanza diam aja, gak lagi menanggapi perkataan cowok yang duduk memunggunginya. Dia sibuk memikirkan kata-kata cowok itu.
Benar juga ya, semakin banyak gue baper, makin banyak gue ngerasa disakitin. Padahal Farlan gak bermaksud baperin ataupun nyakitin gue. Cuma perasaan gue aja yang salah mengartikan.
Huft…. Lagi-lagi gue nanya. Kenapa sih gue terlahir jadi cewek yang gampang baper? Keliatannya gue lemah banget karena gak kuat menahan perasaan yang timbul akibat kata-kata manis itu. Mungkin gue perlu banyak belajar supaya ke depannya bisa membentengi diri. Dan supaya gak 'dikit-dikit baper'.
Di tengah asyiknya bersemayam dalam pikiran, Hanza dikagetkan oleh suara benturan keras di depan. Bersamaan dengan itu, badan Hanza terdorong ke samping sehingga menabrak punggung Farlan sebagai akibat dari motor yang ngerem mendadak. Susah payah cewek itu meredakan kekagetannya dengan dahi mengerut karena penasaran apa yang terjadi, ditambah dengan keramaian yang mulai terbentuk di depan. Suasana seketika berubah histeris.
“Ada ap- Astaga!” Perkataan Hanza tergantikan oleh pekikan ngeri ketika melihat apa yang terpampang tepat di depan matanya.
Bunyi keras yang membuat Hanza kaget itu ternyata bersumber dari dua motor yang bertabrakan. Kini, kedua motor itu berbaring mengenaskan dengan kaca spion yang pecah dan lecet di beberapa bagian motor. Sedangkan pemilik motor terpental agak jauh dari motor mereka masing-masing dengan kondisi yang untungnya gak sampe parah banget.
Tiba-tiba Hanza membelalakkan matanya ketika di sela-sela kerumunan, ia melihat salah satu korban tabrakan itu. Tanpa berpikir panjang, dia langsung turun dari motor--membuat Farlan tersentak kaget--lalu berlari menghampiri sosok berseragam SMA persis dengannya yang tergolek lemas di tengah jalan. Meskipun helm masih menutupi wajah orang itu, Hanza kenal betul siapa dia.
Hanza menerobos kerumunan demi mendekatinya. Dengan wajah panik, Hanza berlutut di samping orang yang tengah mengerang kesakitan itu. Tak lama, Farlan yang mengekor di belakang Hanza tadi baru bisa menerobos kerumunan dan langsung berdiri di sebelah Hanza dengan raut panik dan bingung.
“Zega…”
Bersamaan dengan panggilan penuh kecemasan yang keluar dari mulut Hanza, cowok yang daritadi mengerang itu mulai melemas dan akhirnya kelopak matanya menutup bersamaan dengan kesadarannya yang menghilang.
***
Terlalu pendek ya? Sengaja aku pendekin, hehe *ditabok readers*. Tapi sependek apapun part yang aku publish, kalian musti tetap nge-vote, key? Comment juga boleh.
See you in next chapter yaw! :)
Peniu.
KAMU SEDANG MEMBACA
It HURTS
Teen FictionTeman-teman bilang, kisah cinta gue itu pasaran. Naksir tapi cuma bisa memendam (kalo lo bilang gue pengecut, itu artinya bukan hanya gue aja yang lo judge tapi juga jutaan cewek yang naksir diam-diam). Sebenarnya sih itu udah kelewat lumrah. Yang l...