Twenty Fifth

747 48 0
                                    

Satu kata untuk rumah di hadapan gue ini : Wow. Mungkin penghinaan banget kalo gue sebut tempat megah nan berkilau ini sebagai rumah. Percaya, gak percaya, tempat ini 5 kali lipat lebih menakjubkan dari rumah-rumah mewah bak istana yang pernah gue lihat sebelumnya.

Gue bertanya keheranan dalam hati. Orang sebrengsek Zega punya rumah segede ini? Hard to believe it. Tapi kali ini gue memang harus percaya. Karena setelah berulang kali gue mengecek alamat yang diberikan Iby sampe mata gue mabok, siapa tahu gue salah alamat, ternyata ini memang benar rumahnya-ralat. Istananya.

Gue membunyikan bel yang menempel di samping pagar hitam besar dengan celah dan ukiran rumit yang menghiasinya, membuatnya terlihat elegan. Sebenarnya pagar itu terbuka separuh, menampakkan pemandangan di baliknya. Tapi gue dan Farlan gak berani buat nyelonong masuk. Gak lama kemudian, seorang pria dengan pakaian penuh noda tanah menyambut kami.

“Ada perlu apa ya, Dik?” tanya si bapak yang gue kira tukang kebun di sini.

Gue pun menyatakan maksud kedatangan kami ke sini. Si bapak tukang kebun pun mempersilahkan kami memasuki pekarangan rumah yang luas. Tukang kebun itu berjalan mendahului kami yang masih betah menikmati pemandangan ini.

“Lumayan…” komentar Farlan yang membuat gue menatapnya skeptis selama beberapa detik.

“Pasti enak banget rasanya kalo jadi pacarnya Zega. Mungkin bakalan hidup bahagia selama-lamanya, kek di dongeng-dongeng,” gumam gue sambil membayangkan sesuatu yang membuat gue ngiler.

Farlan menoleh ke gue dengan mengangkat sebelah alisnya. “Kok lo jadi matre gini sih, Han?”

“Aduh Farlanku sayaang… Coba deh lo mikir, siapa sih yang gamau tinggal di rumah segede ini?”

“Gue.”

“Sumpah aneh gila lo.”

“Lo gak mikir, gimana capeknya ngebersihin rumah segede itu?”

“Kan ada pembantu yang bisa bersihin,”

“Dikit-dikit pembantu. Kapan lo bisa jadi mandiri?”

“Ck, ngeselin banget sih lo Lan.”

Tiba-tiba aja kami udah di depan pintu rumah yang sudah dibuka si tukang kebun.

“Masuk aja, Dik. Kamarnya Den Zega di lantai 2 paling ujung.” kata si tukang kebun.

Gue menjawab dengan ragu-ragu. “Oh- iya makasih pak,”

Tepat setelah si tukang kebun pergi meninggalkan kami dan kembali memangkas rumput, gue menyerukan keheranan yang tersimpan dalam hati.

“Segampang ini? Apa dia gak takut rumah tuannya kecolongan?”

Farlan mengangkat bahu, “Gue juga bakalan ngasi siapa aja keliaran seandainya rumah gue ada cctv di setiap sudutnya.” kata Farlan sambil menunjuk ke atas dengan dagunya dan arah tatapan matanya. Gue ikut melihat ke atas, dimana terdapat sebuah cctv menyala yang menempel di dinding, di atas pintu.

“Pantesan. Ya udah masuk yuk!”

Kami pun masuk ke dalam. Gue gak lagi mendecak kagum seperti tadi ketika pertama melihat bagian depan rumah, karena ruangan di balik pintu itu kurang lebih sama seperti yang gue bayangkan. Pertama masuk, kami disambut sofa-sofa empuk yang berderet menjadi setengah lingkaran dengan sebuah meja kaca dengan kaki rendah di tengahnya. Ruangannya seluas kamar gue yang dijadikan satu dengan kamar orangtua gue. Berada di sisi kiri ruangan adalah anak tangga yang menuju ke lantai atas. Kami pun bergegas menaiki satu per satu anak tangga. Padahal gue sempat tergiur buat duduk barang semenit di sofa yang kelihatannya empuk dan lembut banget.

Setibanya di atas, perlu lebih dari 15 langkah untuk sampai di pintu paling ujung sesuai petunjuk yang diberikan si tukang kebun. Tanpa pikir panjang dan sedikt gak sabar, gue mengetuk pintu itu sebanyak lima kali. Lama tidak ada tanggapan dari balik pintu membuat gue ragu ini beneran kamar Zega.

Gue menoleh dengan ekspresi bingung ke Farlan. “Kita coba pintu lain?” gue memberi saran dengan suara pelan.

“Coba lagi.”

Gue menurut. Ketukan kembali terdengar. Kali ini lebih keras dan panjang. Beberapa detik setelahnya terdengar erangan lemah di balik pintu. “Diem brengsek!”

Gue meringis. Sedetik gue merasa ngeri mendengar protesan Zega. Sepertinya gue ganggu istirahat cowok itu dengan ketukan menyebalkan barusan. Tapi ternyata Farlan menganggap “Diem brengsek” itu sama artinya dengan “Silakan masuk”. Dia dengan muka datar membuka pintu yang gak dikunci. Farlan masuk dan gue mengekor di belakang.

Zega yang awalnya menampakkan muka bete gak bisa menyembunyikan keterkejutannya ketika melihat gue yang masih berseragam sekolah lengkap. Gue langsung mendekat di sisi ranjang cowok itu, meninggalkan Farlan yang tetap berdiri membelakangi pintu.

“Ngapain lo kesini?” tanyanya heran tapi jelas banget ada nada senang dalam suaranya.

“Mau minta makanan” ketus gue. “Ya jenguk lo lah, bego”

“Tumben lo peduli…” Zega tersenyum miring. Entah gagasan apa yang ada dalam otak busuknya itu.

“Cuma kepo sama keadaan lo sih, gak lebih.”

“Oh.” Dia mengangkat alisnya.

“Sayang banget, padahal gue tadi berharap luka lo gak se-sedikit ini.” komentar gue dengan nada kecewa yang jelas boong banget. Justru gue merasa cukup sangat lega sekali banget lihat keadaannya dia yang gak parah.

“Siapa ya yang saking khawatirnya jadi ngebet banget pengen jenguk, sampe-sampe gue dibentak-bentak melulu?” celetuk Farlan. Untung dia berkicau, gue nyaris aja lupa kalo gue bawa manusia ke sini. Tapi yang ngeselinnya, dia menyindir gue dengan sangat-sangat keras. Bisa dibayangkan sekarang muka gue semerah apa. Malu gue, maluuuu.

Zega tertawa memandang gue dengan raut geli dan meremehkan. Berani-beraninya dia ngetawain gue. Masih untung ada orang sebaik gue yang mau buang-buang waktu buat jenguk dia.

“Tenang aja, Han. Gue baik-baik aja kok. Kepala gue cuma kebentur aspal dan badan gue cuma lecet dikit. Over all, thanks udah peduli sama keadaan gue.” seandainya muka meremehkan itu gak dia pasang, gue janji bakalan baper max dengernya. Tapi semua kesan serius dan tulus dalam nadanya rusak total gara-gara wajahnya yang super nyebelin.

Gue mendecih dengan muka bete. Mood gue kacau.

Zega berdeham dan beralih menatap Farlan. “Lo bisa keluar dulu gak? Gue pengen berdua aja sama cewek ini.”

Gue kaget mendengarnya. Sedangkan Farlan terlihat ragu dan enggan meninggalkan gue hanya berdua dengan cowok berbahaya ini. Gue pun agak ngeri sih.

“Ya udah. Han, kalo ada apa-apa, lo tahu harus ngapain.” pesan Farlan setiap kali dia khawatir atau kalo dia berada jauh dari gue.

Lo-tahu-harus-ngapain-itu maksudnya gue disuruh teriak kalo terjadi sesuatu yang gak diinginkan. Kadang gue ngerasa lucu sama sikapnya dia. Siapa sih yang gak baper digituin?

Gue hanya mengangguk. Farlan pun berjalan keluar kamar dan menutup pintu. Setelahnya, hening. Belum ada pembicaraan di anatara gue dan Zega. Akhirnya dia pun berdehem.

“Udah baikan ternyata…?” katanya yang menurut gue cuma kalimat basa-basi. Nada suaranya entah kenapa bikin gue kesal.

Gue mengangguk dan memaksakan senyum datar. “Yah… bagus kan?”

Lama Zega cuma diam sambil menatap dinding di depannya dengan alis mengerut samar. Entah apa yang menarik dari dinding kelabu polos itu. Lalu, dia menoleh dan menatap gue tepat di mata. “Baguslah. Tapi gue takut, gue gak bisa bikin lo berhenti suka sama dia…”

Percayalah, mood gue bahkan gak berbentuk lagi.

***

Setelah sekian lamaaaaa
Akhirnya author bangkit dari kubur
Kembali iseng ngetik gak jelas
Hehe…

Peniu.

It HURTSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang