Twenty Eighth

757 43 1
                                    

“Han, lu tunggu di parkiran aja, gue masih ada urusan” kata Farlan sambil memasukkan buku-bukunya ke dalam tas.

Hanza yang mood-nya terlalu kacau buat ngomong panjang lebar, akhirnya cuma mengangguk dan berjalan keluar kelas meninggalkan Farlan sendiri di dalam ruangan itu.

Di koridor, ia menemukan Iby yang berjalan berlawanan arah dengannya. Cewek itu kelihatan buru-buru sambil sesekali mengangkat lengan untuk melihat jam di pergelangan tangannya.

“Iby! Mau kemana lo? Gak pulang?”

“Eh, gak. Gue ada ekstra sekarang. Udah telat nih gue. Bye ya Han!” sahut Iby cepat lalu melenggang pergi.

Huh… kenapa semua pada sibuk sih? Pertama Ian, dia bilang mau ikut pembinaan buat olimpiade minggu depan. Terus, Farlan juga sok-sokan punya urusan penting sampe-sampe Hanza disuruh jalan sendiri ke parkiran. Dan barusan Iby yang seolah-olah gak pernah punya kerjaan selama hidupnya, sekarang malah jadi rajin mengikuti ekstrakurikuler. Sepertinya tinggal Hanza aja yang bukan termasuk orang sibuk. Dia berjalan gontai dengan muka kusut menuju parkiran. Lalu seseorang menoyor kepalanya dari belakang dengan pelan tapi ternyata sampai membuat Hanza terhuyung ke depan dan memekik kaget. Ia langsung menoleh ke belakang, dimana pelakunya justru terkekeh.

Hanza kaget. Ia gak tahu harus marah atau malah lega.

“Zega!”

“Iya kenapa? Kangen lo sama gue?”

Hanza benar-benar gak tahu dia harus bersikap seperti apa. Dia senang banget Zega senyum lagi ke dia, tapi tetep aja tingkah nyebelinnya gak pernah berkurang.

“Sakit pala gue, anying! Kalo gue jatuh tadi gimana?”

“Yaudah gue ketawain.”

Hanza memberenggut. “Rese lo emang!”

“Rese-rese ngangenin maksud lo?”

Hanza cuma bisa diam sambil menekuk wajah. Perkataan Zega sangat akurat. Hanza rela kok menelan semua omongan dan kelakuan rese cowok itu, asal dia gak dijauhin lagi. Ikhlas kok dia.

Tapi ya gitu… kasian telinga dan emosi gue yang jadi gak pernah stabil.

“Udah ah, gak tahan gue lama-lama jauh dari lo. Hidup gue basi kalo gak dapet objek bully-an.”

“Dasar! Bilang aja lo juga kangen”

“Eits, 'juga'?” Zega menaikkan alisnya dan tersenyum geli “Bener dugaan gue.”

“Iya emang kenapa?” Hanza berusaha ngeles tapi gak membantah perkataan cowok itu. “Wajarlah gue kangen sama orang yang dulunya nge-chat tiap hari buat modusin gue, tapi tiba-tiba aja ngilang ditelan bumi.”

Eih… kenapa Hanza kelewat jujur ya? Bisa-bisa cowok itu kegirangan karena merasa penting. Padahal sih enggak. Eh- maksudnya, iya.

“Kesepian lo? Jablay sih. Gue pikir, tugas gue buat nemenin lo udah clear. Farlan udah balik kan?”

“Iiii apa hubungannya sama Farlan sih? Lo tuh gak ngerti!”

“Yaudah, bikin gue ngerti.”

“Lo jealous ya?” akhirnya ia bisa menyuarakan hasil pemikirannya. Apa lagi kalau bukan jealous namanya? Udah kentara banget kalau Zega menaruh rasa ke Hanza.

Tapi belum sempat Hanza mendapat jawaban pasti, seseorang memanggil Zega dari jarak yang agak jauh.

Marka.

Ah… kenapa Hanza baru ingat? Kakak kelasnya itu sepertinya dekat banget sama Zega akhir-akhir ini. Dan itu bikin dia ragu akan ke-jealous-an yang mungkin dirasakan Zega akibat hubungan Farlan dan Hanza membaik. Seketika itu juga, Hanza menyesali kege-erannya.

It HURTSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang