HOME?

824 25 4
                                    


Pulang lah, Nak, Pulang

Bagaimana bisa kamu takut untuk pulang?

Seharusnya tidak ada satu pun yang membuatmu untuk takut pulang, nduk

Kamu ditakdirkan lahir di sini, mati pun kamu di sini


JOGJA. Kota ini seperti memiliki kekuatan sihir yang tidak dapat ditangkal. Seperti memiliki daya serap luar biasa atas semua emosional orang-orang yang pernah menginjakkan kaki di kota ini. Kota ini seperti memberikan sumpah serapah kepada setiap orang yang mendatanginya. Sumpah serapah untuk selalu ingin kembali. Sekarang sumpah itu sedang bekerja padaku. Pada akhirnya aku akan kembali menginjakkan kota ini setelah tiga tahun lebaran aku tidak menginjakkan kaki di kota ini.

"Nggak kangen Jogja emang?"

"Nggak kangen pepes di terminal concat?"

"Nggak kangen Mondo?"

"Nggak kangen Thai Tea yang di Agro Plasa?"

"Nggak kangen kwetiauw Bu Sri? Ayam Geprek Bu Rum? Soto Pak Marto? Croisant Cheese-nya Holland Bakery? Burgernya Mister Burger?"

"Nggak kangen muter-muter nggak jelas naik Trans Jogja sampe balik lagi ke shuttle awal?"

"Nggak kangen hujan di Jogja?"

"Nggak kangen rumah, nduk?"

"Nggak kangen masa lalu,"

PLAAAAKKKK!!!

Jawaban untuk semua pertanyaan adalah IYA. Siapa yang tidak merindukan semua hal itu? Siapa yang tidak rindu rumah? Siapa yang tidak rindu tempat tidur yang ditiduri sedari kecil? Siapa yang tidak rindu hujan di Jogja? Siapa yang tidak rindu kota kelahiran, kota tumbuh, dan kota awal kehidupanku? Aku sangat merindukan semua hal itu. Tidak jarang aku dapat menangis berjam-jam setelah sholat tahajud saat benar-benar merindukan semua itu. Tidak ada yang tahu, seberapa besar aku mencoba menepis kerinduan itu. Seberapa besar hatiku mencoba menahan pedih yang bertahun-tahun berusaha kusembuhkan sendiri.

"Gue tau, lo berusaha move on, tapi bukan berarti lebih dari tiga kali lebaran nggak pulang kan?" Kata Indri dua minggu lalu saat menelfonku. "Memang Cuma waktu obatnya, tapi gue nggak mau lo nggak datang di akad nikah gue." Seketika tangisku pecah tak terbendung. Rasa sakitnya masih sangat terasa. Belum juga berkurang sedikitpun. "Lo mau berapa lama lagi Cuma bisa nangisin orang yang setitik air matanya pun nggak ada keluar buat lo? Kasihanin diri lo, you deserve to be happy, darl."

"Gue usahain balik dua minggu lagi ya," mataku terpejam dan dengan sekuat tenaga aku mengucapkan kalimat itu. "Seenggaknya gue ada di samping lo waktu lo akad besok."

"Lo harus datang! Lo harus ikut bahagia kayak gue! Lo inget kan, kita tuh linkage. Saat gue bahagia lo juga bahagia. Saat lo sedih gue juga sedih. Gue nggak mau jadi sedih di hari seharusnya gue bahagia, Cuma karena lo masih sedih aja,"

Dua minggu lagi. Dua minggu lagi aku akan menghirup udara kota yang konon mengalami banyak perubahan. Kota yang sudah tiga tahun tidak kuinjak tanahnya. Kota dimana aku memulai kehidupan sebagai manusia, memiliki impian dan harapan, lalu di kota itu lah harapan dan impianku juga runtuh. Move on bagiku adalah keseluruhan. Berusaha berpindah tidak hanya dari satu orang, tapi secara geografis juga. Aku akhirnya memutuskan menerima tawaran pekerjaan di sebuah kantor konsultan Manajemen di Jakarta. I don't have any Jakarta dream, but I've choosen Jakarta as my hiding place. Dalam novel Critical Eleven Ika Natassa pernah bilang, Jakarta change people. I wanna be changing, so I moved to Jakarta.

Rumah HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang