PANTAI

328 11 0
                                    

Karena hanya ombak terkuat yang akan sampai ke pantai,

Walaupun tidak sedikit yang akan kembali ke lautan

Aku masih berharap aku adalah pantai bagimu yang sedang kembali ke lautan

Lalu pada akhirnya kau akan habis padaku dan tidak lagi kembali ke lautan

Ingat, pantai tidak pernah pergi!

PANTAI adalah tempat yang aku suka semenjak kecil. Yang jelas aku akan bermain air sampai basah kuyup dan kantong-kantong bajuku penuh dengan pasir. Yang paling aku suka adalah saat aku berdiri di tengah pantai dan menunggu ombak yang datang dengan mata terpejam. Bagiku sangat menyenangkan saat akhirnya ada ombak yang datang kepadaku, ada ombak yang menghantam tubuhku namun tidak dapat membuat tubuhku terjatuh. Sekalipun pada akhirnya tubuhku terjatuh karena ombak yang datang terlalu kencang, aku akan tetap merasa senang dan tertawa, mentertawakan diriku sendiri yang akhirnya dapat jatuh terhantam ombak. Andai saja kehidupan orang dewasa sesederhana tubuh yang terhantam ombak namun pada akhirnya tetap tertawa. Andai saja aku dapat tetap tertawa saat pada akhirnya aku jatuh ketika Bayu memutuskan menyerah dan pergi dariku, seperti saat tubuhku yang akhirnya jatuh terhantam ombak. Namun, jangankan tertawa, tersenyum pun aku nyaris tidak mampu. Orang dewasa tidak sekuat anak kecil ternyata.

Aku kembali mengulang kebiasaanku saat kecil. Berdiri di tengah pantai dan menunggu ombak kembali menghantam tubuhku. Sudah lama rasanya aku tidak ke pantai. Sejak empat tahun lalu. Sejak Bayu memutuskan untuk pergi. Aku sudah lupa bagaimana rasanya terhantam ombak. Aku sudah lupa rasanya tertawa setelah terhantam ombak. Aku hanya tahu bagaimana sakitnya saat ombak kehidupan menghantamku. Saat Bayu memutuskan untuk menyerah dan pergi. Saat Bayu menyerah untuk kembali sama-sama memperbaiki diri kami dan lebih memilih perempuan lain daripada aku. Saat itu aku sama sekali lupa bagaimana rasanya tertawa. Seseorang yang sangat kita cintai, biasanya akan menjadi orang yang dapat sangat menyakiti kita.

Aku memejamkan kedua mataku. Membiarkan angin pantai terlebih dahulu menghampiriku. Menerbangkan gaun pantai warna peach yang aku kenakan. Aku membiarkan rambutku tergerai dan diterbangkan oleh angin pantai. Aku berharap angin pantai yang tidak berhenti menyapa sejak pertama aku sampai di pantai ini dapat membawa kesedihanku sedikit demi sedikit. Aku berharap angin pantai dapat mengeringkan lukaku yang masih sangat basah. Aku berharap, nanti, saat aku pulang, aku lupa rasanya bersedih. Aku lupa rasanya menangis karena Bayu. Aku berharap aku akan kembali ingat bagaimana rasanya bahagia tanpa beban. Bagaimana rasanya tertawa tanpa harus menutupi kesedihan. Bukan kah setiap luka berhak untuk sembuh?

Ingatan mengenai Bayu kembali terlintas di fikiranku. Ingatan saat bersama Bayu di pantai ini. Beberapa kali kami pergi ke pantai dan pantai Parangtritis ini lah yangs ering kami kunjungi karena tempatnya yang paling dekat dari kota. Pantai ini tidak seindah pantai-pantai di Gunung Kidul yang cenderung masih sepi. Pantai ini sudah sangat ramai dan lebih kotor dari pantai lainnya. Tapi pantai ini tetap menjadi tujuanku dan Bayu. Bibir pantai ini cukup panjang dan menyambung dengan pantai-pantai sekitarnya. Biasanya aku dan Bayu akan berjalan menelusuri bibir pantai sambil mengobrol dan sesekali bermain air. Aku dan Bayu sangat suka bermain air. Bayu lebih suka bermain air hingga tubuhnya benar-benar basah tanpa memikirkan akan ada pasir yang mengisi kantong-kantong celana dan bajunya yang akan susah dihilangkan, sementara aku masih memikirkan pasir-pasir yang akan mengisi kantong-kantong celana dan baju. Bayu berubah menjadi sosok yang menyenangkan saat kami sedang di pantai. Ia menjadi lelaki paling nyaman bagiku. Lelaki paling baik bagiku. Lelaki yang akan selalu menjagaku sampai kapanpun tanpa peduli apapun yang akan terjadi. Aku seakan mendengar tawa Bayu di telingaku yang berhembus bersama angin. Tawanya yang nyaring dan sedikit berat. Tulang pipinya yang selalu naik setiap ia tertawa atau tersenyum. Aku juga masih dapat mengingat jelas bagaimana suara Bayu yang tidak seberat suara lelaki biasanya, tapi itu adalah suara ternyaman bagiku, sekaligus suara yang paling menakutkan saat keegoisannya muncul. Bayu selalu menggandeng tanganku saat kami berjalan menyisiri bibir pantai. Seakan ia tidak ingin aku terbawa ombak ke tengah lautan sana. Bayu bukan lelaki yang puitis saat kami berada di pantai. Ia adalah lelaki yang apa adanya. Kata-katanya apa adanya. Tapi selalu mampu membuatku merindukannya. Empat tahun sudah aku tidak mendengar suara dan tawa itu namun aku masih dapat mengingat dengan jelas. Empat tahun sudah aku tidak melihat wajah dan senyum lelaki yang selalu membuatku tenang sekaligus takut saat di dekatnya, namun rasanya baru kemarin aku melihatnya. Aku masih mengingat hampir semua hal tentang Bayu. Apa makanan kesukaannya dan bagaimana cara memasaknya. Apa hal yang paling suka dilakukannya saat bangun tidur. Merk sabun dan shampo kesukaannya. Parfum kesukaannya. Empat tahun berlalu dan rasanya masih seperti kemarin. Damn you, Ray!

Rumah HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang