GAMBIR

180 13 1
                                    

Jika di satu tempat dapat terjadi perjumpaan dan perpisahan

Mungkin ada benarnya satu hati dapat membuatku jatuh cinta sekaligus patah hati

Warna hijau mendominasi stasiun ini, sehingga aku menyebutnya stasiun hijau. Sudah dua tahun belakangan ini aku lebih suka berpergian dengan kereta daripada dengan pesawat, walaupun berpergian ke luar kota menggunakan kereta memakan waktu yang lebih lama. Tapi bagiku, lebih aman. Setidaknya lebih aman bagi hatiku yang memiliki kenangan buruk dengan bandara. Terakhir kali aku menginjakan kaki di bandara adalah saat aku melihat Aras bersama lelaki lain yang kini telah menjadi suaminya. Kejadian beberapa menit itu seketika merubah seluruh hidupku. Tidak sekali pun aku membayangkan hal itu akan terjadi. Tidak sekalipun aku membayangkan Aras dapat melakukan hal itu kepadaku.

"Aku minta maaf," kata Aras saat kami bertemu di lobi hotel tempatku menginap, sehari setelah kejadian di bandara. "I know i hurt you. I know you're not okay." Suara Aras masih selembut biasanya, tidak ada yang berubah dari suara wanita yang kukenal dan kucintai selama sembilan tahun itu. Tidak ada yang berubah dari senyum teduh di wajah cantiknya. Tidak ada yang berubah dari sorot matanya yang teduh dan mampu dengan mudah membuat lelaki manapun jatuh cinta saat menatapnya. Tapi wanita yang sangat lembut itu juga lah yang sehari sebelumnya menghancurkanku sehancur-hancurnya.

"This is not your fault. This is mine," Aras melanjutkan kata-katanya. Aku tahu ia sedang berbicara dengan sangat berhati-hati. Aras selalu berbicara dengan sangat berhati-hati. Dia selalu memilih kata-kata dan kalimat terbaik dengan intonasi yang paling tepat saat berbicara. Ia tahu betul bagaimana menjaga sikapnya saat berbicara. "Aku yang tidak lagi bisa bertahan dengan ritme hidup kamu. Aku yang selalu merasa kesepian di kota sebesar ini. Aku yang selalu butuh perhatian dari kamu, tapi seringnya kamu tidak pernah punya waktu."

"Apa kesalahan terbesarku?" akhirnya aku mampu mengeluarkan suara. You broke my heart as easy as i love you, Aras.

"Kamu terlalu hidup dengan impian-impianmu," Aras menjawab dengan sangat lembut, namun sangat menyakitkan bagiku. Bagaimana bisa dia menyalahkan impian-impian yang perlahan berusaha aku wujudkan, juga untuknya, untuk hidupnya nanti. "Aku yang nggak lagi kuat untuk mendampingi kamu dan impian-impian kamu. Impian kamu itu terlalu besar bagiku."

"Kenapa kamu mau bertahan delapan tahun?" aku masih belum bisa menerima alasannya. Aku menatap tajam kedua matanya. Mata itu masih saja teduh, walau ada air mata yang berusaha ditahannya. "Kenapa kamu nggak mundur dari awal?"

"Mungkin aku yang nggak tahu diri, Mas. Aku nggak tahu diri kalau sebenarnya aku nggak mampu untuk mendampingi kamu dan impian-impianmu," suara Aras mulai bergetar. Aku tahu Aras sedang berusaha menahan untuk tidak menangis. Tapi aku tidak yakin apakah ada perasaan bersalah dari semua yang dilakukannya ini. "Just let me go. Aku nggak memaksa kamu bisa memaafkan aku, but just let me go."

Are you kidding me, Aras? Who are you? Are you Aras?

Siapa perempuan yang sedang ada di hadapanku ini? Perempuan yang dengan sabar mendampingiku selama delapan tahun. Perempuan yang selalu memberiku semangat untuk terus mewujudkan impian-impianku sejak kecil. Perempuan yang selalu mampu untuk membuatku tenang dan membuat rasa lelah tidak ada artinya sama sekali setelah melihat senyumnya dan mendengar suaranya. Apa perempuan yang ada di hadapanku ini adalah perempuan yang sama dengan yang kutemui pertama kali di kantin perpustakaan kampus? Perempuan yang kunci lokernya tidak sengaja tertukar dengan kunci lokerku? Perempuan yang selama hampir dua tahun setia menungguku kembali dari Osaka? You change to be stranger, Aras! Does Jakarta change you? Yes, Jakarta changes you! Jakarta takes you away from me! And you change me into pieces!

Aku baru saja keluar dari coffeeshop ketika melihat seorang lelaki dan perempuan saling berpelukan. Pelukan perpisahan. Mungkin mereka masih lebih bahagia dibanding denganku. Bisa memeluk orang yang disayangi bukan kah jauh lebih baik daripada tidak sama sekali. Sekalipun itu adalah pelukan perpisahan. Kalau saja Aras masih bersamaku, mungkin orang terakhir yang kupeluk di stasiun hijau ini adalah Aras. Oh Godness, it just a what if condition! Aras has gone and won't be back again.

Aku tidak membenci Jakarta. Aku hanya memiliki kenangan buruk dengan kota yang sangat besar ini. Kota yang telah merubah impian terbesarku. Kota yang telah menghancurkan masa depanku hanya dalam beberapa menit. Kota yang ternyata lebih rimba dari hutan rimba manapun. Seburuk apapun kenanganku dengan kota ini, toh aku harus sering mengunjungi kota ini untuk menghadiri beberapa pelatihan dan seminar. Aku harus merevisi tujuanku datang ke Jakarta. Bukan lagi untuk Aras, tapi untuk diriku dan impianku.

Sejak kejadian yang sangat menyakitkan di bandara, aku tidak lagi memilih bandara sebagai pintu untuk masuk ke Jakarta. Sekarang aku memilih Gambir sebagai pintu masuk ke Jakarta. Aku menjadi pecinta kereta sejak dua tahun yang lalu. Sejak bandara menjadi tempat yang paling menyakitkan bagiku. Sejak bandara menjadi tempat hancurnya semua mimpi-mimpi dan masa depanku bersama Aras. Sejak bandara menunjukkan siapa sebenarnya Aras.

Sometime, you should change your preferation to heal your heart and i do. But, i should change many preferations. Gambir is one of new preferation that i changed.

"Make your new memmories, bray!" kata Aji, rekan sejawatku di rumah sakit. Aji adalah sahabatku sejak kuliah dan sekarang kami bekerja di rumah sakit yang sama. "You need to heal your heart first. Your job will help you so much!"

Aji juga pernah mengalami hal yang kurang lebih sama denganku. Harus merelakan kisah cintanya yang tinggal selangkah lagi ke pelaminan hancur. Alasannya kurang lebih sama. Pekerjaan kami sebagai dokter yang menyita banyak waktu, sehingga waktu untuk memperhatikan pasangan sangat kurang. Sekali lagi, antara karir dan cinta seperti campuran kopi dan gula di dalam sebuah cangkir yang harus dijaga keseimbangannya.

"Cuma perempuan-perempuan terbaik dan tertangguh yang bisa jadi pendamping orang-orang yang berprofesi kayak kita," Aji menepuk bahuku, walaupun ia nampak seperti playboy, tapi dia adalah orang yang sangat setia dengan pasangannya. "You deserve a better one, dude!"

Aku hanya mampu tersenyum mendengar kata-kata Aji. Do i really deserve, Ji? I'm not sure.

Rumah HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang