TRAFFIC LIGHT

158 13 0
                                    

If love has a traffic light

I wish mine is always red

So, you'll always stop at me


MACET adalah permasalahan kota yang tidak pernah absen. Terutama mendekati jam masuk kantor dan sekolah, jam makan siang, dan jam pulang kantor dan sekolah. Stock sabar harus dimiliki sebanyak-banyaknya oleh orang-orang yang harus berada di jalanan di waktu-waktu tersebut. Siapa bilang macet hanyalah milik Jakarta? Jogja yang terkenal nyaman pun, sekarang sudah menghadirkan kemacetan sebagai salah satu warna kotanya. Seingatku, dulu aku hanya menunggu paling banyak dua kali lampu merah untuk mobil dapat melewati satu traffic light. Tapi setelah tiga tahun berlalu, menunggu sampai dua lampu merah saja sudah dikatakan normal. Dan siang yang sangat panas ini, bersamaan dengan jam pulang sekolah, sudah tiga kali lampu merah yang aku tunggu dan belum juga aku dapat melewati traffic light ini. For God sake!

Aku adalah salah satu orang yang memiliki phobia terhadap kemacetan. Saat berada dalam kemacetan aku akan merasa sangat sedih dan ingin menangis. Rasanya seperti aku menemukan suatu permasalaha yang tidak mampu diselesaikan. Saat pertama di Jakarta dan terjebak kemacetan di Jakarta aku sering tiba-tiba menangis. Bahkan Irsyad dan Andin sampai terheran-heran dengan phobia-ku ini. Mereka sempat panik saat kami bertiga terjebak dalam kemacetan Jakarta dan tiba-tiba aku langsung menangis tanpa sebab.

"Lo sampe mana sih, Ray?" Indri sudah berkali-kali menelfonku dari lima belas menit yang lalu.

"Masih di Gondomanan. Macet bo'!"

"Yaelah dari lima belas menit yang lalu ga berubah-berubah aja posisi lo,"

"Besok gue pake pegasus biar kalo macet begini bisa langsung terbang ke kampus lo!"

"Ya lagian bandel sih lo! Dibilangin naik motor aja biar bisa lewat gang senggol,"

"Lo mau kepanasan? Gue sih lagi males kepanasan kalo lagi liburan begini,"

"Yaudin deh terserah aja mau lo apa! Untung lo lagi liburan. Kalo nggak, udah gue...,"

"Udah gue apa?"

"Udah gue jodohin sama dosen gue yang masih jomblo sampe umur kepala empat!"

SABLENG!! Aku menutup telfon dari Indri dan melemparkan handphone ke kursi sebelah. Tadi pagi subuh, Indri sudah menelfonku. Niatnya bukan untuk membangunkanku sholat subuh. Tapi hanya untuk meminta tolong untuk menjemputnya di kampus jam dua belas siang. DUA BELAS SIANG PEMIRSA! Jalanan Jogja mana yang menuju ke arah kampus UGM yang tidak rimba?

"Lo puterin aja ringroad ntar juga lo bisa ngebut!" kata Indri enteng. Aku hanya dapat menghela nafas sambil kembali merebahkan tubuhku ke kasur saat tadi subuh Indri menelfonku. Kalau bukan karena Indri adalah sahabatku sejak jaman aku belum mampu menghitung perkalian, mungkin aku akan langsung menolak permintaannya untuk menjemputnya di kampus.

Rencana siang ini adalah menjemput Indri di kampus dan mengantarkan Indri untuk membeli kaos kaki dan pakaian dalam untuk Dio. Yep, itu lah Indri dan aku. Karena sudah lama bersahabat, hingga hal-hal yang sangat domestik seperti ini Indri tidak lagi sungkan mengajakku. Bahkan, aku tahu berapa ukuran sepatu, celana, dan kemeja Dio, karena terlalu sering menemani Indri mencarikan sepatu, celana, dan kemeja untuk Dio.

"Lo itu perlu tau juga selera dan ukuran-ukuran baju sama sepatu lakik gue. Jadi kalo misal nih gue nggak sempet beli buat doi, kan lo bisa gue mintain tolong," seloroh Indri. Kadang aku harus menghela nafas dalam-dalam dengan kelakuan Indri yang sableng ini. Bahkan, dulu pernah Indri meminta tolong kepadaku untuk membelikan kemeja untuk Dio di Jakarta karena Dio hanya membawa baju yang dipakainya saat itu, saat Dio harus tiba-tiba menginap di Jakarta karena ada meeting tambahan dengan kliennya. Mungkin Indri hanya tidak akan cemburu kepadaku saat aku bertemu Dio tanpa Indri. Aku dan Indri memang memiliki banyak kesamaan, tapi untuk masalah selera laki-laki, aku dan Indri memiliki selera yang sangat jauh berbeda. And i thank you so much God!

Rumah HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang