DESTINY(?)

124 9 0
                                    

Life is a set of destiny

Sometime you can choose, but sometime you just can accept it



Everything happens for a reason. Tidak ada yang kebetulan di dunia ini. Jika kita merasa sesuatu terjadi karena kebetulan, sebenarnya itu adalah hal yang telah diatur oleh Tuhan sedemikian rupa untuk terjadi, dengan atau tanpa kita sadari. Terlalu banyak hal yang terjadi di dalam hidup ini, yang jika kita flash back akan menimbulkan satu kalimat pertanyaan "How could it happened?"

Bahkan beberapa kejadian yang menyakiti kita terjadi untuk menggiring kita pada takdir selanjutnya. Sebuah perpisahan mungkin dibiarkan terjadi oleh Tuhan agar pada akhirnya kita dapat menemukan kembali, entah menemukan hal yang sama atau menemukan hal yang lain. Sebuah pertemuan yang diijinkan terjadi, bisa saja dimaksudkan untuk memberitahu kita, bahwa hal menyakitkan yang sebelumnya terjadi tidak akan pernah membuat kita lantas pantas untuk menghardik hidup. Life contains of many events, good or bad, sadness or happiness. Life is a set of destiny. Sometime you could choose but sometime you only could accept it.

Tuhan mengijinkan pertemuanku dengan Aras terjadi dan berlanjut dengan kebahagiaan yang aku rasakan selama delapan tahun lebih. Namun, kemudian Tuhan membiarkan kebahagiaan itu runtuh seketika begitu saja dalam hitungan detik. Tuhan membiarkan begitu saja Aras pergi dariku. Delapan tahun lebih dan pada akhirnya sebuah perpisahan lah yang menjadi hal terakhir yang terjadi padaku dan Aras. Duniaku runtuh. Hatiku hancur. Dalam hitungan detik semua mimpi yang telah disusun rapi harus disingkirkan dan aku kebingungan untuk kembali menyusun mimpiku.

Tapi sekali lagi, everything happens for a reason. Mungkin Tuhan membiarkan semua itu terjadi untuk menggiringku pada takdir selanjutnya. Pada pertemuanku dengan Rayya di kereta secara tidak sengaja. Lalu pertemuan kami yang masih tidak sengaja juga di pesta pernikahan anak Pak Irwan dan berlanjut pada pertemuan-pertemuan selanjutnya. Mungkin saat aku merasa bahwa duniaku runtuh dan hatiku hancur, Tuhan sedang menggiring langkahku untuk menuju kepada Rayya. Pada perempuan yang hanya dengan duduk diam di sampingnya saja aku merasa duniaku menjadi tenang. Pada perempuan yang dengan sekilas melihat senyumnya saja, aku merasa duniaku menjadi cukup. Pada perempuan yang selalu mau untuk memilih kata demi kata yang dapat dengan mudah aku pahami saat ia menjelaskan tentang dunianya yang terasa asing bagiku. Pada perempuan yang sudah sebulan ini belum juga aku hubungi, namun rasa rindu itu masih belum juga hilang sedikit pun.

Sudah sebulan Rayya kembali ke Jakarta. Sudah sebulan sejak malam terakhir aku melihat wajah teduhnya. Wajah lembutnya yang selalu tersenyum. Sudah sebulan aku tidak melihat sepasang sorot mata yang selalu mampu membuatku merasa nyaman. Sudah sebulan juga aku tidak mendengar suaranya bahkan tidak mendengar kabarnya. Mungkin sekarang ia sedang berada di balik mejanya dan serius dengan laptopnya. Atau mungkin sekarang ia sedang dalam sebuah meeting dengan kliennya. Atau mungkin juga ia sedang terjebak dalam kemacetan Jakarta yang sebenarnya sangat tidak disukainya.

"Kerjaanku itu memahami klien, cari tahu apa yang mereka mau dan mereka butuhkan," Rayya bercerita dengan santai mengenai pekerjaannya saat kami tengah duduk di Benteng sambil menikmati senja. Rayya selalu mencoba menjelaskan dunianya kepadaku dengan sesederhana mungkin agar aku dapat langsung mengerti apa yang diceritakannya.

"Kadang tuh ya, aku bisa cuma duduk di depan laptop, makan, duduk, makan, gitu aja sampai pulang ke rumah," lanjut Rayya kemudian ia tertawa kecil. Aku suka suara tawa Rayya yang ringan. Suara tawa yang menjadi salah satu hal di antara hal lainnya yang membuatku merindukannya. Suara tawa yang bisa membuatku tiba-tiba tersenyum setiap mendengarnya. Suara tawa yang seketika mampu menghilangkan rasa lelahku setelah seharian berada di rumah sakit. Sudah sebulan aku tidak mendengar suara tawa itu.

"Bray, besok ternyata kita satu flight ke Jakarta?" suara Aji tiba-tiba menyadarkan aku yang ternyata sedari tadi terlalu larut dalam fikiran tentang Rayya. Aku hanya dapat terdiam menatap Aji yang sudah duduk di kursi di bagian seberang mejaku.

"Ya Tuhan! Dari tadi diajak ngobrol bengong ternyata," Aji tertawa kecil dan menjatuhkan buku yang belakangan sedang aku baca. "Kalau begini nih tandanya Pak Dokter yang satu ini lagi jatuh cinta." Aji menaikan alis kanannya dengan tatapan mledek.

Aku hanya mampu tertawa. Menertawakan diriku sendiri yang di umur tiga puluhan ini masih saja kepergok melamun karena seorang perempuan oleh sahabat sendiri.

"C'mon, Bray! Just ask her, will you marry me! Langsung aja nggak usah basa-basi kayak anak umur awal duapuluhan, kelamaan pacaran... eh, ternyata end up sama orang lain. Itu sih namanya jagain jodoh orang!"

"Jadi maksudnya selama ini, aku cuma jagain jodoh orang?" aku melembarkan pulpen ke arah Aji. Namun berhasil ditanggap oleh Aji.

Tawa kami berdua meledak. Aku dan Aji sama-sama laki-laki single di umur awal tigapuluhan. Dimana orang di sekitar kami semakin banyak yang melontarkan pertanyaan "Kapan mau nikah?" lalu dilanjutkan dengan statement yang sok tahu tentang kehidupan kami "Terlalu sibuk sama karir makanya lupa cari jodoh" atau yang paling menyebalkan adalah "nanti keburu empat, makin susah dapat jodohnya".

"Will you marry me?"

Yap. Itu hanya satu kalimat. Satu kalimat yang seharusnya aku ucapkan kepada Rayya. Kalimat paling tepat untuk menggambarkan perasaanku saat ini kepada Rayya. Perasaanku setelah beberapa kali bertemu dengan Rayya. Namun untuk mengucapkan satu kalimat itu rasanya perlu begitu banyak keberanian. Kembali untuk percaya pada hal yang sama setelah pernah begitu kecewa bukan lah suatu hal yang mudah. Bukan hal yang mudah untuk kembali meyakinkan diriku sendiri bahwa, aku bisa kembali jatuh cinta. Aku bisa kembali merasakan ingin hidup bersama seorang wanita yang mampu membuat duniaku menjadi lebih hidup. Bukan hal yang mudah untuk meyakini bahwa ternyata aku masih bisa merindukan seseorang untuk selalu ada dalam hari-hariku. Bukan hal yang mudah bagiku untuk kembali percaya bahwa, mungkin Tuhan menghadirkan Rayya sebagai takdirku selanjutnya.

Tidak ada yang kebetulan di dunia ini. Semuanya sudah diatur sebegitu baik oleh Tuhan. Bukan suatu kebetulan aku bertemu Rayya di kereta dari Jakarta menuju Jogja. Bukan kebetulan aku bisa merasa begitu dekat dengan Rayya yang baru saja aku kenal. Mungkin juga bukan kebetulan semua mimpiku bersama Aras hancur seketika beberapa tahun lalu. Mungkin Tuhan ingin membuatku merasakan begitu hancur sebelum Ia membuatku merasa begitu bahagia.

Semenjak keputusan Aras pergi meninggalkanku dan memilih hidupnya sendiri, aku tidak pernah membayangkan akan kembali merasakan jatuh cinta lagi kepada perempuan lain selain Aras. Saat itu aku merasa seluruh cinta dan hatiku sudah hancur saat Aras lebih memilih laki-laki lain untuk menjadi pendamping hidupnya. Aku merasa bahwa diriku sudah tidak akan lagi merasakan rasanya berdebar saat akan bertemu dengan seorang perempuan dan saat ada di sampingnya, merasakan rindu saat ia sedang tidak ada bersama denganku, dan merasakan seketika menjadi begitu sempurna saat ia ada di hadapanku. Ya. Rayya adalah perempuan yang berhasil membuatku merasakan semua rasa yang tadinya aku kira sudah tidak dapat lagi aku rasakan. Rayya berhasil membuatku merasakan lagi bagaimana berdebarnya saat aku akan menemuinya dan saat ia ada di sampingku. Rayya berhasil membuatku merasakan rindu yang dengan setengah mati berusaha aku tahan saat ia sedang tidak bersamaku, terlebih sudah sebulan ini aku tidak bertemu dengannya. Rayya juga lah yang dapat membuatku kembali merasa sempurna, sejak pertama aku berada di dekatnya, bahkan saat tidak ada sepatah katapun di antara kami.

Rayya adalah titik balik dari semua sakit hatiku yang membuatku merasa duniaku runtuh seluruhnya. Rayya yang tiba-tiba hadir di sebelahku, di kereta pagi itu, seperti sebuah titik cahaya dalam duniaku yang telah lama gelap. Ia seperti semilir angin dalam ruanganku yang selama ini tertutup dan pengap. Ia seperti memiliki kunci dan telah membuka handle pintu ruangan yang telah lama terkunci.

Rayya seperti takdir yang tidak pernah aku kira sebelumnya. Ia hadir seperti layaknya sebuah takdir. Begitu saja dan tidak terduga. Atau mungkin lebih mirip seperti sebuah keajaiban. And i still couldn't stop to wonder!

Rayya adalah jawaban atas semua pertanyaan "mengapa" yang selalu aku lontarkan kepada Tuhan atas pilihan yang dibuat Aras. Tahunan aku tidak juga menemukan jawabannya dan detik ini, saat ini, aku baru menyadari, bahwa jawaban atas semua pertanyaan itu adalah Rayya. Ya, Rayyana Sangahara.

Itu baru mungkin, Bhumi! She's not already say yes! Even you're not already ask her!

Rumah HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang