HAPPYNESS?

111 5 0
                                    


I love being alone and look at a great view

But suddenly my heart ask, do I really happy?

Then I realise that a pieces of my mind think about you

Akhirnya aku kembali ke jalanan Jakarta, setelah dua jam penerbangan. Selama penerbangan ke Jakarta, aku tidak bisa memejamkan mataku, sekalipun tubuh terasa begitu lelah. Fikiranku seperti tidak ikut pulang bersama diriku. Berlibur di Gili Trawangan dan tidak sengaja bertemu dengan Bhumi yang juga sedang berlibur bersama dengan teman – temannya. Menghabiskan beberapa hari dengan Bhumi dengan lebih intens dibanding dengan yang kami lakukan di Jogja kemarin. Menikmati sunrise dan sunset bersama dengan Bhumi ternyata cukup menyenangkan. Sekali lagi, Bhumi seperti hadir menjadi sosok yang dapat membaca bagaimana suasana hatiku. Ia seperti dapat mengetahui bahwa aku tidak terlalu berada di tengah keramaian orang – orang yang sedang menikmati club malam dan mengajakku untuk bersepeda mengelilingi pulau. Ia juga seperti bahwa aku suka menikmati sunrise dan sunset dengan keheningan. Bukan kah aku selalu suka menikmati momenti dengan keheningan. Hanya ada di dalam moment itu, tidak banyak berbicara. Hanya melihat apa yang ada di sekitarnya. Menghirup udaranya perlahan dan menikmatinya. Mengenali bagaimana aromanya. 'Menikmati moment' begitulah aku menyebutnya. Menikmati hal yang ada di sekitar tanpa memikirkan apapun. Hanya melihat, I know, it sounds freak. But I love to do it.

Jarum jam dinding ruang tengah sudah menunjukkan pukul dua belas malam kurang lima menit, tapi aku masih belum juga mampu terpejam dan masih duduk di meja makan sambil menatap ke arah luar apartemen, sementara Andin sudah terlelap sejak tadi di kamarnya. Langit malam ini sepertinya sedang mendung. Tidak ada bintang yang terlihat sejak aku dan Andin sampai di Apartemen.

What are you doing, Bhum? Have you a safe flight?

Aku baru saja menyeruput teh terakhir yang masih tersisa di cangkir saat handphone-ku berdering. Bhumi. Demikian lah nama yang muncul di layar. Semesta seperti sedang bermain denganku saat ini. Baru saja aku memikirkan tentang lelaki yang beberapa hari kemarin menemaniku menikmati sunrise. Lelaki yang tiba – tiba memelukku saat kami tengah menikmati sunrise. Lelaki yang harus aku akui, dapat membuatku kembali merasakan bagaimana rasanya cemas saat akan bertemu dengannya. Bagaimana tiba – tiba badanku terasa dingin saat tubuhnya begitu dekat dengan tubuhku. Lelaki yang nafasnya dapat aku rasakan begitu dekat. Lelaki yang membagi cerita tentang pekerjaannya, kesehariannya dan dunianya kepadaku dengan begitu ringan dan aku merasa ia tidak pernah melebih – lebihkan hal – hal yang diceritakannya kepadaku. Lelaki yang dapat membuatku kembali tersenyum setiap telfon darinya baru saja ditutup. Aku masih belum yakin dengan apa yang aku rasakan. Di satu sisi aku merasa bahwa Bhumi dapat membuatku tertawa dan bahagia. Namun di sisi lain, aku takut hanya menjadikan Bhumi sebagai tempat pelarianku dan obat atas semua rasa sakitku. Aku takut jika nantinya Bhumi akan melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Bayu padaku. Menyerah dan lebih memilih perempuan lain daripada memperjuangkan masa depan bersamaku.

"You had a safe flight, right?" suara Bhumi dari seberang terdengar sedikit serak. Mungkin ia kelelahan dan sebenarnya sudah mulai mengantuk.

Aku tertawa kecil menanggapi kalimat pertama Bhumi di telefon kali ini. There's any hallo. Tidak jarang Bhumi langsung mengatakan apa yang dingin dia katakan di telefon atau pun saat kami berhadapan langsung. He's a straightforward person, I think. "Do you still on holiday tomorrow?" mungkin percakapan kami terdengar aneh. Kami seperti tidak menanggapi kalimat lawan bicara sebelumnya. Tapi kami merasa tidak perlu selalu menanggapi kalimat lawan bicara sebelumnya dengan kalimat lugas.

Rumah HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang