GARIS JINGGA

131 12 0
                                    

Kalau ada bagian hari yang paling indah selain fajar

Maka ia adalah senja dengan semburat jingga

Tapi semua bagian hari adalah indah saat bersamamu

Mungkin di dalam dirimu ada fajar dan senja yang berpadu


Beberapa hari belakangan aku menyusun ulang jadwalku. Aku ingin sebisa mungkin beberapa jam di sore hariku off, meskipun tidak dapat setiap hari. Alasannya hanya satu. Rayya. Rayya hanya memiliki waktu seminggu di Jogja dan entah mengapa sejak mengajaknya makan di nasi soun, aku menjadi selalu ingin menghabiskan sore bersamanya. Am i addicted to you, Ray? Tuhan seperti mengabulkan permintaan sederhanaku ini. Hari ini jadwal operasi kembali diundur menjadi malam, alasannya lagi-lagi karena menunggu kesiapan dokter lain yang lebih senior daripada aku.

"Akhirnya bisa lihat Bhumi Waradana buru-buru keluar rumah sakit," kata Aji saat kami berpapasan di lobby rumah sakit.

Sudah lama sekali rasanya memang aku tidak buru-buru keluar dari rumah sakit saat sore tiba. Biasanya aku baru akan keluar dari rumah sakit saat malam sudah lewat. Rayya sepertinya merubah duniaku di rumah sakit.

Seperti biasanya, hari ini aku sama sekali tidak menghubungi Rayya untuk menanyakan keberadaannya. Dari pertemuan terakhir kemarin aku menyimpulkan sore ini Rayya akan menghabiskan waktunya di rumah. Maka dari itu aku melajukan mobilku ke rumah Rayya. Walau hanya bertemu dengannya beberapa jam di sore hari, rasanya sudah cukup bagiku. Mendengar suara dan tawanya yang renyah sudah cukup menjadi suplemenku untuk pekerjaan berikutnya. Semesta seperti mendukung keinginannku, jalanan sore ini tidak terlalu macet. Atau mungkin belum semua karyawan keluar dari kantor? Apakah hari ini adalah hari lembur masal? Yang pasti kemacetan sore yang sering membuat stress itu tidak terjadi sore ini. Thanks God!

"Eh, Nak Bhumi," sapa Ibu Rayya saat ia membuka pagar rumah untukku. "Kebetulan Rayya lagi ke pantai sejak tadi siang, tapi belum pulang."

Aku sedikit kecewa karena perkiraanku kali ini salah besar. Rayya tidak ada di rumah. Rasanya aku seperti orang bodoh yang tiba-tiba muncul di rumah seseorang, sementara orang yang ingin aku kunjungi ternyata tidak ada.

"Kalau begitu saya menyusul Rayya saja, Bu," aku akhirnya memutuskan untuk menyusul Rayya ke pantai. Entah mengapa perasaanku seperti mengharuskan aku untuk menyusul Rayya. Lagi pula pantai yang Rayya kunjungi tidak terlalu jauh dari kota. "Saya permisi kalau begitu. Assalamualaikum."

Setelah berpamitan aku pun menuju ke pantai yang dimaksud oleh Ibu Rayya. Kira-kira membutuhkan waktu 45 menit untuk dapat sampai di pantai. Semoga jalanan ke arah pantai juga tidak terlalu ramai. Rasanya dadaku berdegup lebih kencang dari biasanya. Bukan karena aku akan bertemu dengan Rayya lagi. Tapi aku merasa ada sesuatu yang terjadi pada Rayya. Pergi ke pantai seorang diri biasanya bukan merupakan hal yang baik. Apalagi untuk seorang perempuan. Is she on a problem?

Mungkin sore ini aku sedang sangat beruntung. Jalanan yang biasanya macet luar biasa karena arus pulang kantor, entah bagaimana masih tergolong sepi saat aku lewati. Aku sengaja membuka kaca mobilku dan mematikan air conditioner mobil. Aku mempersilahkan angin sore masuk menerpa wajahku. Angin sore. Sudah lama sekali rasanya aku tidak menikmati syahdunya angin sore. Apalagi angin sore di perjalanan ke pantai. Biasanya Aras akan memarahiku jika aku membuka kaca mobilku dan membiarkan angin masuk.

"That's not good, Mas! Just close the window, please!" itu adalah kata-kata yang selalu diucapkan Aras jika aku sengaja membuka kaca jendela mobil. CRRAAAAAPPP!!! Stop it, Bhumi! It's over! She's over! Please, just think about Rayya!

Rumah HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang