THE DOORS

133 6 0
                                    


If life is contains of many rooms,

I have entered so many rooms and opened so many doors

I hope the next room that I will entry is you



Akhirnya pesawat yang membawaku pulang kerumah terbang juga setelah mengalami delay selama dua jam karena hujan dan cuaca buruk. Aku duduk di kursiku yang berada tepat di samping jendela. Aku dapat melihat sayap kokoh dari pesawat ini. Sayap yang putih dengan aksen warna biru di antaranya. Saat berada di ketinggian aku tidak lagi dapat melihat awan ataupun langit biru, juga lekukan sungai yang membelah daratan. Langit malam yang sedikit mendung menjadi pemandangan di penerbanganku menuju Jogja kali ini. Setidaknya aku dapat melihat sebaran titik-titik kecil lampu dari bangunan-bangunan di bawahku. Beberapa menit yang lalu aku masih dapat melihat wajah Rayya dengan jelas. Aku masih bisa mendengarkan suara Rayya dengan jelas. Aku masih dapat menikmati lesung pipinya ketika ia tersenyum ataupun tertawa atau sekedar menggerakkan kedua bibirnya. She's my universe, maybe.

Sejak malam pertemuan kami di bandara Jogja sebulanan yang lalu, aku mulai menyadari bahwa ada yang berbeda dari Rayya. Ada sesuatu yang harus aku lakukan untuk Rayya. Ada suatu perasaan yang sudah bertahun-tahun tidak dapat aku rasakan lagi setelah kepergiaan Aras. Perasaan sedih ketika Rayya harus kembali ke Jakarta dan entah kapan aku dapat kembali langsung menatapnya. Lalu pada saat pertama kali kami akhirnya kembali bertemu di Jakarta. Ada perasaan gugup yang seperti menyebar ke seluruh penjuru tubuhku. Perasaan gugup yang sudah lama sekali tidak pernah aku rasakan selama bertahun-tahun.

"You will find your own medicine, bray," ucap Aji bertahun-tahun lalu saat pertama kali aku menceritakan tentang Aras yang lebih memilih lelaki lain. "I don't know when it will. But it will"

Yeah I know, Ji! Every wound will find its medicine. It will. Is Rayya my medicine?

Sementara itu fikiranku sendiri mempertanyakan perasaanku saat ini. Apakah Rayya hanya sekedar hadir sebagai obat, yang setelah luka itu benar-benar sembuh lalu ia akan berlalu begitu saja? Atau justru membuat luka yang baru dan aku harus kembali menunggu dan mencari obatnya lagi? Bukan kah terlalu egois jika aku menganggap Rayya adalah obat dari luka yang disebabkan oleh Aras? Rayya hasn't any contribute on this, right? Atau kah Rayya hadir sebagai sesuatu yang benar-benar baru di dalam hidupku? As my new universe? Tanpa terkait sama sekali dengan Aras.

Aku masih terus melemparkan pandanganku ke arah luar jendela. Ke langit hitam yang begitu luas. Aku merasa semakin hari, semakin banyak pertanyaan demi pertanyaan tentang Rayya yang muncul di fikiranku. Pertanyaan yang harus mulai aku cari jawabannya atau mungkin aku singkirkan dari fikiranku. Pertanyaan yang selama bertahun – tahun ini sudah tidak pernah muncul dalam fikiranku. Pertanyaan demi pertanyaan yang selalu membuatku merasa susah bernafas setiap kali muncul di fikiranku. You start fulfill my mind, Ray!

"Siang, dok," suara Aji mengagetkanku yang baru saja meletakkan makan siangku di salah satu meja di kantin rumah sakit. Aji lalu meletakkan makan siangnya di meja yang sama denganku. Aku bahkan tidak menyadari bahwa Aji berbarengan denganku saat memasuki kantin. "Ada yang happy banget nih kayaknya."

Aku tertawa dan menggelengkan kepala mendengar selorohan Aji. Aku yakin pasti Aji telah mendengar sesuatu tentang aku dan Rayya di Jakarta kemarin.

"So happy to see you happy again, bray," Aji menepuk pundak kananku dengan tatapan jahilnya. "My ears and my eyes are everywhere, bray!"

Rumah HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang