SORE TERAKHIR

133 6 1
                                    

Jika yang bermula memiliki akhir

Aku harap akhirmu masih lah lama

Sekalipun harus sekarang,

Aku harap setidaknya itu hanyalah jeda

"Two days latter," jawaban Rayya tadi sore seperti petir yang datang tiba-tiba di hadapanku. Two days latter, Ray? Seharusnya aku tidak lupa bahwa Rayya hanya pulang sementara ke Jogja.

Dua hari lagi. Dua puluh empat jam dikali dua. Bahkan tidak ada seratus jam lagi Rayya ada di kota ini. Dua hari lagi aku akan kembali ke rutinitas biasaku sebelum Rayya tiba-tiba hadir di kehidupanku. Dua hari lagi aku sudah tidak lagi memiliki alasan untuk cepat-cepat pulang dari rumah sakit. Dua hari lagi aku tidak dapat mendengar suara nyaring itu secara langsung. Semuanya terasa begitu cepat dalam dua hari.

"Dokter kayaknya bengong banget?" suara Aji yang tiba-tiba muncul mengagetkanku. Sendok kopi yang tadinya kupegang langsung terjatuh ke meja. "What's going on?" Aji kemudian duduk di kursi kosong di hadapanku.

"Nope," jawabku ringan sambil mulai menyeruput kopi yang sudah mulai dingin.

"Is it about that girl?" pertanyaan Aji langsung membuatku tersedak. Sahabatku yang satu ini kadang bisa langsung tahu apa yang terjadi padaku, bahkan sebelum aku sempat bercerita kepadanya. "Kalem, Bray." Aji menepuk pundakku.

"Besok atau lusa Rayya balik ke Jakarta," akhirnya aku menyebut nama Rayya di hadapan Aji. Aji hanya mengangguk-angguk sambil meneruskan makan siangnya. "How could it be so fast?"

Aku kemudian menceritakan banyak hal tentang Rayya kepada Aji. Tentang pertemuan pertama kami di kereta, lalu berlanjut dengan pertemuan kedua kami yang tidak disengaja saat pesta pernikahan anak Pak Iwan, yang ternyata adalah sahabat Rayya. Tentang pertemuan-pertemuan kami selanjutnya. Tentang bagaimana aku merasa kembali menemukan duniaku kembali saat aku bersama Rayya. Tentang bagaimana akhirnya aku dapat berdamai dengan masa laluku setelah beberapa pertemuanku dengan Rayya. Hanya dalam beberapa hari Rayya hadir dalam kehidupanku, ia sudah dapat membuatku berdamai dengan masa laluku. Hal yang selama bertahun-tahun gagal untuk aku lakukan sendiri. Mungkin memang aku membutuhkan Rayya untuk dapat berdamai dengan masa laluku. Menerima bahwa Aras sudah tidak dapat lagi eksis di dalam hidupku selanjutnya. It's just on days. On days, you change my world, Ray. On days, you make me think that may be... may be i'm falling in love with you.

CRAAAAAPPP!!!

It hears so cheapy! Yeah! So cheapy for thirty-someting-years-old-man. But, this is my feeling, Ray.

"Please, jangan bawa luka masa lalu lagi," Aji meletakkan sendok dan garpunya dan menyingkirkan piringnya ke samping kiri. "She's Rayya. She's not Aras. Setiap orang memiliki potensi yang sangat besar untuk memiliki cerita yang berbeda."

Aku menatap Aji sambil berusaha menerima apa yang baru saja dikatakannya. Aji tahu betul apa yang aku takutkan. Ini bukan perkara jarak antara Jogja dan Jakarta. Bukan juga perkara Rayya yang tidak lagi dapat aku temui langsung setiap sore, seperti beberapa hari belakangan ini. Ini perkara luka masa laluku bersama Aras. Ketakutan bahwa, Jakarta akan kembali menghancurkan harapanku. I don't hate Jakarta, i only have bad experience with those city.

"So?" aku menyipitkan mataku, bertanya kepada Aji apa yang seharusnya aku lakukan. CRAAAPP!! Even you're thirty-something, falling in love still make you seems like the stupid one!

"Just do a thing that a thirty-something man should do," Aji berdiri dari kursinya dan menepuk bahuku lalu ia berjalan menuju pintu keluar kantin.

Rumah HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang