PARTITION

92 10 0
                                    

There are some hundred kilometers to see you

But I know, I could through them

And when there are no partition to see your eyes,

I couldn't ensure how's your heart really feel


Memberanikan diri mungkin istilah yang pantas dialamatkan kepadaku saat ini. Aku memberanikan diriku untuk kembali bertemu dengan Rayya, setelah sebelumnya memberanikan diriku untuk menghubungi Rayya dan memberitahuku bahwa aku sedang berada di Jakarta. Sebenarnya tidak ada yang harus aku takutkan dari Rayya. Aku dan Rayya toh hanya dua orang asing yang tidak sengaja bertemu dan kebetulan merasa cocok satu sama lain saat berkomunikasi. Lalu apa yang harus ditakutkan dari hanya sekedar melanjutkan obrolan?

"Enjoying the silent in the crowded place," suara Rayya mengagetkanku yang tengah duduk di salah satu kursi di sudut café.

If you know, Ray, when I hear your voice, seems like hundred flowers are blooming. Just by hear your voice, Ray!

Andai Rayya tahu seberapa cepat jantungku berdebar saat ini. Saat ia ada di hadapanku. Saat kedua mataku menangkap sorot matanya yang selalu nampak cerdas, sorot mata ini yang membuat inner beauty Rayya sangat kentara, kalau sampai ada lelaki yang menyia-nyiakannya, aku rasa lelaki itu adalah lelaki paling bodoh sedunia. Saat bayangan kedua lesung pipinya jatuh tepat di retinaku. Sata kedua telingaku dapat mendengarkan suaranya yang tidak pernah membuatku bosan, mungkin saat dia sedang flu berat pun suara itu akan tetap menjadi suara favoritku. How magical you are, Ray!

Ini adalah satu jam pertamaku dapat menikmati waktu bersama Rayya di tengah kesibukan kami masing-masing. Di tengah kesibukan Rayya yang harus selalu bertemu dengan klien-kliennya dan menyelesaikan analisis-analisisnya. Sementara aku, hanya menunggu waktu di antara materi satu dengan materi lainnya. Satu jam yang bagiku serasa hanya berlalu seperti sepuluh menit. Satu jam yang mau tidak mau harus kami akhiri karena Rayya harus menghadiri meeting dengan kliennya.

"So, Do you enjoy wih Jakarta?" tanya Rayya saat kami baru keluar dari café dan berjalan menuju parkiran.

Aku hanya menjawab dengan senyum dan bahu yang terangkat.

"Kok malah senyum gitu sih," Rayya memukul bahuku dengan tangan kirinya. Tawaku pun pecah melihat raut kesal di wajah Rayya.

"Jujur saya bingung mau bilang apa," kataku saat tawaku sudah mereda. "So far, I am trying to enjoy your Jakarta."

Aku dapat menangkap kedua mata Rayya sepenuhnya. Mata yang cenderung sipit layaknya mata wanita jawa, namun begitu terlihat cerdas. Aku menangkap penuh kedua bola matanya yang hitam pudar. Aku menikmati pemandangan yang disuguhkan di hadapanku siang ini. Mata yang indah dengan bulu mata asli yang lentik dan wajah yang ternyata selama sebulanan ini aku rindukan, tapi karena kebodohanku aku tidak pernah mengutarakannya. Kedua lesung pipi yang sempurna di wajah Rayya. My world is stoping now, Ray! You make it, Ray! Just by your smile and eyes!

Jakarta changes people. I know Jakarta can changes everything inside it. Jakarta change you to be someone that I miss, Ray!

"I have to go," Rayya akhirnya memecahkan kebisuan di antara kami. Kebisuan yang menyenangkan. Any words, but eyes talk more than al the words in this world.

"Yap. So do I," aku menimpali dengan setengah gelagapan.

"Mau saya antar sekalian?" tawaran Rayya kali ini berhasil membuat kedua mataku membelalak. "Kebetulan tempat saya ketemu dengan klien ada di dekat hotel tempat kamu seminar. Jadi bisa sekalian."

Rumah HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang