RUANG TUNGGU

133 8 0
                                    

Ada yang tidak ingin aku lewatkan
Setidaknya sekilas senyummu
Sekelebat bayanganmu
Dan keberanianmu untuk menungguku,
Yang tidak aku ketahui, seberapa besar keberanianmu itu


Berbagai rasa tercampur aduk menjadi satu dalam perjalananku kembali ke Jakarta kali ini. Tidak hanya karena aku akhirnya berani untuk kembali ke Jogja setelah bertahun-tahun aku hanya bersembunyi. Kehadiran Bayu kembali secara tiba-tiba dan permintaan Bayu untuk kembali bersama membuatku bimbang, apakah sebenarnya aku masih mencintainya atau sebenarnya selama ini perasaan rindu dan harapan untuk kembali bersama dengan Bayu hanya karena aku belum dapat menerima keadaan.

"Jangan lupa untuk pulang," aku masih mengingat betul kalimat terakhir yang diucapkan Bhumi sebelum aku masuk ke dalam bandara. Ada sebuah senyum tipis yang muncul di akhir kalimat itu. Senyum tipis yang bagaikan oase pada wajahnya yang hampir selalu datar dan serius. Walaupun aku masih menyimpan perasaan marah kepada Bhumi.

Kalimat terakhir yang diucapkan Bhumi itu seperti memiliki gema yang terus terdengar oleh kedua telingaku dan mengalahkan rasa kesalku terhadapnya, bahkan sampai saat aku tiba di apartemen. Setiap kali teringat kalimat itu, semua hal tentang Bhumi seperti terputar otomatis di dalam ingatanku, seperti film-film yang sedang diputar. Dua pertemuan pertama kami yang tanpa disengaja yaitu pertemuan pertama kami di kereta dan pertemuan kedua kami di pesta pernikahan Indri. Dari sekian banyak perjumpaan dengan orang asing selama ini, baru kali itu aku bertemu kembali dengan orang yang sama dengan tidak sengaja. Mungkin semesta telah mengatur pertemuan-pertemuan yang aku anggap tidak sengaja tersebut.

"Lo belum tidur, Ray?" suara Andin mengagetkanku yang tengah melamun sambil melemparkan pandanganku pada kerlap kerlip lampu Jakarta di luar sana. The best thing of Jakarta is the night's lights. "Bahagia banget lo kayaknya habis liburan. Ketemu jodoh?"

Aku hanya mendengus sambil menghampiri Andin yang telah duduk di ranjangku. "Lo sendiri ngapain masih keliaran ke kamar gue?"

"Gue baru aja mau tidur. Tapi waktu abis ambil air minum, gue lihat pintu kamar lo kebuka dan lo bengong di jendela," jawab Andin sambil meneguk air yang dibawanya. "Lo mikirin apaan lagi sih? Bukannya besok lo first flight ke Surabaya ya sama Irsyad?"

Aku menghela nafas dalam-dalam. Aku tahu jawaban yang tepat dari pertanyaan Andin barusan. Tapi aku bingung bagaimana harus mengucapkan jawaban tersebut.

"Lo nggak lagi mikirin Bayu kan?" Andin melemparkan tatapan menyelidik kepadaku.

"Sialan lo!" aku melemparkan bantal kecil yang tepat berada di sampingku ke arah bahu Andin. "Nggak lah."

"Terus lo ngapain bengong di jendela sambil sumringah gitu?"

"Kepo amat deh lo jadi orang," aku membulatkan mataku ke arah Andin dan kami pun tertawa.

"Anyway, apapun itu, I can see your happiness," Andin tersenyum dan mengangkat tangan kanannya, lalu jari telunjuknya yang lentik menggambar lingkaran tepat di depan wajahku. Kemudian ia pun berjalan ke arah luar kamarku. "Udah lama gue nggak lihat wajah lo sebahagia ini, Ray." Kata Andin sebelum ia menutup pintu kamarku.

First flight always need more efforts! Baru satu jam aku tidur dan harus segera bersiap-siap untuk penerbangan pertama ke Surabaya. Setengah empat pagi bahkan Irsyad sudah memencet bel pintu apartemenku.

"Adzan subuh aja belom bunyi, Syad, dan lo udah bangunin gue yang baru tidur satu jam lima belas menit!" rutukku saat membukakan pintu untuk Irsyad yang juga masih dengan muka bantalnya.

Rumah HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang